Selasa, 14 Juni 2016

Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Abbasyiah


Dalam sejarahnya, pendidikan Islam telah mengalami pasang surut. Dari zaman Rasulullah saw. hingga tiga rezim sesudahnya (kekhalifahan Rasyidin, Daulah Umaiyyah, dan Abbasiyah) masing-masing dengan karakteristik perkembangannya yang beragam sesuai dinamika yang berkembang pada masa itu. Masa keemasan Islam atau sering disebut peradaban Islam dalam bidang pendidikan ditancapkan pada masa Daulah Abbasiyah. Sebuah rezim yang dalam sejarah Islam dinisbahkan dari mana silsilah keluarga Nabi Muhammad saw., al-Abbas (paman Nabi). Kemajuan yang pesat diperoleh dinasti Abbasiyah dalam berbagai bidang kehidupan pada masa itu untuk sekedar membandingkan dengan peradaban Islam kini secara jujur diakui, belum tertandingi.
Masa ini dengan dimulai dengan berkembang pesatnyya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu pengetahuan yang berrkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan pembentukan dan perkembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslim. Dalam kesempatan ini saya akan membaha tentang bagaimana pendidikan islam masa abbasyiah serta perkembangannya dan proses yang menjadikan masa abbasyiah adalah masa  keemasan islam.
A.    Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan penderiannya dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Tetapi, orang-orang Persia yang masih berpengang pada prinsip hak ketuhanan yang suci, terus berusaha menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan. Pada pandangan publik umumnya, golongan Alawiyin adalah lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak baginda, dan juga karena keduduk an Ali yang menjadi sepupu dan menantu baginda.
Kemudian karena keutamaan Ali yang telah memeluk agama Islam lebih dahulu dari yang lain-lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan Islam. Tetapi, golongan Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah karena moyang mereka ialah paman baginda dan pasukan peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada paman, dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ‘ashabah.
Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu
1.      Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.
2.      Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3.      Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.
4.      Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5.      Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6.      Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7.      Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Dari berbagai penyebab-penyebab di atas dan dengan ketidaksenangan Mawali pada Binasti Ummayah mengakibatkan runtuhnya dinasti dan berdiri Dinasti Abbasiyah hal ini dapat dilihat dengan bantuan para Mawali dari Khurasan dan Persi. Misalnya, bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani, ia berhasil menjadi pemimpin di Khurasan yang pada awalnya di bawah kekuasaan Ummayah.
              Daulah Abbasyiah berkuasa selam 524 tahun yaitu dari tahun 132-556 h/750-1258 m, atau sekitar 6 abad lamanya. Sistem pemerintahan Abbasyiah meniru cara Umayyah. Dasar-dasar pemerintahan Abbasyiah diletakan oleh kedua Khalifah yaitu Abu Ja’far Al Mansyur. Sistem politik Abbasyiah yang dijalankannya antara lain antra lain; para daulah dari turunan arab murni, kota bagdad sebagai ibu kota negara yang menjadi pusat kegiatan politik, ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, kebebasan berfikir ham pernah diakui penuh, dan para menteri turunan persia diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan. Sedangkan sistem sosial kemasyarakatan terjadi perubahan yang sangat menonjol, diantaranya adalah
1.      Tampilnya kelompok mawali yang menduduki peraan dan posisi penting di pemerintahan
2.      Masyarakat terdiri dari dua kelompok yaitu;
a.       Kelompok khusus, yaitu bani hasyim, pembesar negara, bangsawan yang bukan bani Hasyim
b.      Kelompok umum, yaitu seniman, ulama, pengusaha, pujangga, dan lain-lain.
3.      Dalam kekuasaaan bani abbasiyah terdapat bangsa yang berbeda-beda( bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab, Irak, Persia, Turki) 
4.      Lahirnya keturunan baru akibat terjadinya perkawinan campuran dari berbagai bangsa
5.      Lahirnya kebudayaan baru akibat terjadinya pertukaran pikiran dan budara yang dibawa oleh masing-masing bangsa[1]

B.     Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan Islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, di antaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
                    
Gambar : Wilayah Kerajaan Dinasti Abbasiyah

Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbas dalam sejarah lebih maju di bidang ilmu dan pendidikan ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah mengubah, menoreh wajah dunia Islam dalam reflesi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan iklim pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.[2]

1.      Faktor-Faktor Yang Mendorong Kemajuan Pendidikan
a.       Adanya kekayaan yang melimpah dari hasil kharaj, baik pertanian maupun perdagangan. Dengan dana kekayaan tersebut para khalifah dapat dengan mudah merealisir perencanaannya didalam dan diluar negri, serta pengembangan ilmu pengetahuan.
b.      Perhatian beberapa khalifah yang besar kepada ilmu pengetahuan seperti: Al Mansyur(754-775m), Al Mahdi(775-785m), Harun Al Rasyid ( 785-809), Al Ma’mun(813-833), al wathiq(824-847) dan al mutawakkil(847-861). Tak kalah pentingnya ialah pengaruh keluarga Barmak, yang berasal dari Balkh (Bactra ), pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Dipersia. Keluarga Barmak ini mempunyai pengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani di Bagdad. Mereka disamping menjadi Wazir, juga menjadi pendidik dari anak-anak khalifah[3]
c.       Kecenderungan umat Islam dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan besar sekali, maka banyak lah ulam disetiap kota Islam pada masa itu.
d.      Kondisi masyarakat Irak, yang mendesak, perlunya suatu ilmu baru karena sungai Dajlah dan Furat menuntut penataan sistem pengairan yang lebih baik serta pengolaan perpajakan yang lebih sempurna .
e.       Umat Islam pada masa itu telah bercampur baur dengan orang-orang Persia, terutama Mawali, merekan inilah yang memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari bahasa mereka kedalam bahasa Arab.[4]
f.       Bagdad sebagai pusat pemerintahan, lebih dahulu maju dalam ilamu pengetahuan, dari pada Damaskus  pada masa itu,
g.      Lancarnya hubungan kerja sama, dengan negara-negara maju lainnya seperti; India, Bizantum, dan sebagainya.
2.      Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Daulah Abbasiyah

           Kemajuan dalam bidang Pendidikan Melalui Berbagai Bentuk Dan Jenis Lembaga Pendidikan. Pendidikan anak-anak dimulai di rumahnya masing-masing. Ketika si anak mulai bisa bicara, si ayah wajib mengajarinya untuk mengucapkan kalimat tauhid: la> ila>ha illa> Alla>h. Dan ketika ia berumur enam tahun ia mesti diajari untuk melaksanakan sholat wajib. Pada usia itu pulalah dimulainya pendidikan formal.
            Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan Centre Of Education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:

a.       Kuttab atau maktab
Maktab/kuttab, berasal dari kata katab yang berarti menulis atau tempat menulis. Namun akhirnya memiliki pengertian sebagai lembaga pendidikan dasar. Menurut sejarah , kuttab telah ad sejak pra Islam. Diperkirakan mulai dikembangkan oleh pendatang ke tanah Arab, yang berdiri dari kaum Yahudi dan Nasrani sebagai cara mereka mengajarkan taurat dan injil, filsafat, Jadal (ilmu debat), dan topik-topik yang berkenaan dengan agama mereka.[5]

Kutab (sekolah dasar) biasanya merupakan bagian yang terpadu dengan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.
Kutab pada masa ini merupakan kelanjutan dari Kuttab pada masa daulah Umayyah. Para ahli sejarah pendidikan sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama, dalam arti lembaga pendidikan istilah tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis, kemudian meningkat pada pengajaran Al -Quran dan pengetahuan agaman tingkat dasar. Namun demikian, ada juga yang membedakan keduanya dalam fase, yaitu bahwa Maktab adalah istilah lembaga pendidikan islam zaman modern, sedangkan Kuttab adalah istilah lembaga pendidikan zaman klasik.
sedangkan kurikulum pendidikan digunakan di Kuttab ini beroriantasi kepada Al-Quran sebagai textbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab dan sejarah, khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Mengenai waktu belajar di Kuttab, dimulai dari hari sabtu pagi sampai dengan hari kamis siang dengan materi sebagai berikut: (1)Al-Qur’an, dari pagi sampai dhuha, (2)menulis; dari dhuha sampai dengan zhuhur, dan (3)gramatika bahasa Arab, matematika dan sejarah; ba’da zhuhur sampai siang.[6]

b.      Masjid
Fungsi masjid sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur, bukan sekedar berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan dan kebudayaan.
Sistem pembelajaran di dalam mesjid, berbentuk halaqah, berkembang dengan baik pada masa Abbasiyah, sejalan dengan munculnya bermacam-macam pengetahuan agama, sehingga terkadang didalam suatu masjid besar terdapat beberapa halaqah dengan materi pembelajaran berbeda seperti; nahu, ilmu kalam, fiqh dan lain-lain. Ini terjadi dimesjid Al Kasai dan Manshur di Bagdad.[7]
Agaknya yang menjadikan mesjid sebagai salah satu pusat kegiatan pendidikan ialah karena materi pembelajaran yang diajarkan pada tahun-tahun pertama lahirnya islam, adalah mata pelajaran agama yang tentu saja erat pertaliannya dengan mesjid. Bahkan lebih dari itu, masjid dikala itu juga berfungsi sebagai tempat peradilan, tempat tentara berkumpul dan lain-lain
Dalam perkembangan selanjutnya, disamping mata pelajaran agama, mata pelajaran umum jaga diajarkan, seperti bahasa, ilmu hisab, kedokteran dan sebagainya.

Pada perkembangan selanjutnya mulailah dibuka pusat studi umum dan teologi (madrasah) yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Nizhamul Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat ditemukan di Baghdad, Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah, menengah serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.[8]

persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran.

c.       Pendidikan Rendah Di Istana
Timbulnya pendidikan  rendah di istana untuk anak-anak para pejabat berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah dewasa. Untuk itu, daulah dan keluarganya serta pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan anak-anaknya agar sejak kecil sudah diperkenalkan lingkungan dan tugas-tugasnya yang akan diembannya nanti. Oleh karena itu, mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.[9]
Berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab; di istana orang tua muridlah  (para pembesar istana) yang membuat rencana pembelajaran sesuai tujuan yang dikehendaki oleh orang tua sejalan dengan tujuan serta tanggung jawab yang akan dihadapi sang anak kelak.

d.      Toko-toko buku (Al-Hawarit Al-Waraqin)
Selama masa kejayaan toko-toko buku ini tidak saja menjadi pusat pengumpulan dan penyebaran (penjualan) buku-buku, tetepi juga menjadi pusat study dengan lingkaran studi berkembang di dalamnya. Pemilik toko buku biasanya berfungsi  sebagi tuan rumah, dan kadang-kadang berfungsi sebagai mualim lingkaran studi (halaqah) yang memimpin pengajian, sebagian toko buku adalah para ulama. Hal ini menunjukan bahwa betapa antusiasnya umat Islam pada masa itu dalam menuntut ilmu[10]
e.       Perpustakaan(Al-Maktabah)
Salah satu perpustakaan yang sangat terkenal yaitu Bait Al Hikmah, didirikan oleh Harun Al-Rasyid. Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan karena sebagaimana yang diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secar pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan, dan untuk selanjutnya dikembangkan.
Dimasa Al-Ma’mun, perkembangan perpustakaan ini semakin lebih pesat lagi, setelah adanya kontak dengan berbagai daerah dalam usaha memperoleh buku-buku untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka yang bekerja dalam kegiatan ini dianataranya: Alhajjaj Ibn Matar, Ibn Al Bathariq, Salman Dan Yatmi Hunain Ibn Ishaq.

f.       Salun kesusasteraan( Al-Shalunat Al-Adabiyah)
Salun kesusteraan adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh para khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan.  Majelis seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Khulafa’al Rasyidin, dan diadakan dimesjid. Namun pada masa Umayyah, pelaksanaannya dipindahkan keistana dan hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu saja
Pada masa Harun Al-Rasyid (170-193) majlis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan yang cerdas, sehingga beliau aktif didalamnya. Pada masa itu beliau sering mengadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fukaha dan juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.[11]

g.      Rumah para ilmuan (Bait Al Ulama’)
Beberapa ilmuan menjadikan rumah mereka berbagai lembaga pendidikan, antara lain seperti rumah Abi Muahmmad Ibn Hatim Al-Razi Al-Hafiz dalam mempelajari ilmu-ilmu hafiz. Rumah ibn sina dalam mempelajari ilmu kedokteran, dan rumah Sbi Sulaiman Al Sajastani dalam mempelajari ilmu filsafat dan ilmu mantiq.
Diadakannya rumah beberapa ilmuan ini sebagai lembaga pendidikan dilatar belakangi kemungkinan pertimbangan sebagai berikut:
a.       Rumah ini dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus
b.      Situasi dan kondisi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, agak tua dan lain-lain.
c.       Adanya anggapan, bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik dari pada guru yang mendatangi murid.

h.      Observatorium dan rumah sakit (al-bimaristan)
Sebagaimana halnya perpustakaan, observatorium juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan atau sebagai tempat untuk transmisi ilmu pengetahuan. Di observatorium ini sering diadakan kajian-kajian ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani. Para ilmuan melakukan pengamatan dan riset di observatorium tersebut.[12]
Selain obsarvatorium, rumah sakit juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan, terutama bagi calon dokter atau orang yang sedang menuntut ilmu kedokteran.

i.        Al-ribath
Ribath adalah tempat kegiatan sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semat-mata beribadah , juga memberikan perhatian terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syeikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.
Ribath biasa dihuni oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan kegiatan sufidtik. Bangunan ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk beribadah dan mengajarkan pelajaran agama.

j.        Al-zawiyah  yanzawi
Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan oleh para sufi sebagai tempat halaqah berzikir dan tafaqur untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah swt.
Kata zawiyah berasal dari kata inzawa, , berarti mengambil tempat tertentu disudut masjid yang digunakan untuk iktikaf dan beribadah.
Demikianlah jenis lembaga pendidikan islam yang berkembang pada masa itu, walau pun secara fisik lembaga pendidikan diatas , belum dapat diakatkan persekolahan yang datang kemudian, namun dari segi hasil, justru dapat melahirkan ilmuan dan cendikiawan terkemuka yang sangat masyhur, bukan hanya pada masanya, melainkan masa sesudahnya.

C.    Ilmu-Ilmu Yang Tumbuh Dan Berkembang Pada Masa Daulah Abbasiyah


Kemajuan yang dicapai oleh daulah Abbasiyah, khususnya dalam bidang ilmu merupakan puncak kejayaan Islam sepanjang sejarah hal ini disebabkan(1)Situasi dan kondisi yang sangat menunjang, (2) keterlibatan semua phak secara ikhlas dan sungguh-sungguh, (3) adanya kemerdekaan dan kebebasan berfikir, membuat islam sangat dinamis dan kreatif, jauh dari sikap fatalis dan taklid. Perkembangan ini juga membawa daulah Abbasiyah ketempat utama dan terhormat dalam kebudayaan, peradaban serta dunia pemikiran atau filsafat.[13]
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik. Kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadis; sedang astronomi, mantiq dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
Adapun ilmu-ilmu yang tumbuh dan berkembang pada masa daulah Abbasiyah ialah ada dua bidang yaitu
1.      Bidang Agama (Ilmu Naqli)
 
a.      Ilmu Tafsir
Tumbuh dan berkembangnya ilmu tafsir dalam abad ketiga hijrah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar yang mendesak, untuk memahami arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai akibat semakin bertambah banyaknya pemeluk Islam yang bukan Arab.
Ilmu Tafsir, al-Qur’an adalah sumber utama agama Islam. Oleh karena itu, segala perilaku ummat Islam harus berdasarkan kepadanya, hanya saja tidak semua bangsa Arab memahami arti yang terkandung didalamnya. Sebab untuk memahami suatu kitab tidak cukup hanya mengerti bahasanya saja tetapi diperlukan keseimbangan taraf pengetahuan antara buku yang dibaca dengan pembacanya. Maka bangunlah para sahabatnya untuk menafsirkannya. Ilmu ini mengalami perkembangan serta kemajuan pesat pada pemerintahan Abbasiyah,  ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu
1.      Tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan al-qur’an dengan al-qur’an, al-hadits , riwayat sahabat dan tabi’in.
2.       Tafsir bi al-ra’yi yaitu menafsirkan al-qur’an dengan menggunakan akal pikiran. dan di antara para ahli tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah adalah a) Ibnu Jarir Ath-Tabari. b) Ibnu Athiyah Al-Andalusi. c) Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani
Tafsir bi at ma’sur antara lain seperti jami al bayan fi tafsir al-qur’an, oleh ibn jarir al thabari, mu’alim al tanzil oleh baghawi dan tafsir al kabir oleh Al Razi. Sedangkan tafsir bi al ra’yi, antar lain seperti tafsir Abu Bakar Al Islam dan tafsir Ibn Jarwi Al Asadi
Hadirnya tafsir bi at ra’yi banyak mempengaruhi pemikiran filsafat yang berkembang pesat pada masa itu: dimaksudkan selain untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul, juga pertanda bahwa islam sesungguhnya telah mengembangkan diri.

b.      Ilmu Hadits
Pembukuan hadits secara lebih sempurna, baru mulai dilakukan pada masa ini. Beberapa karya besar yang terkenal seperti sahih Al Bukhari, Sahih Al Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Al-Tirmizi, Sunan Al-Nasai dan Al-Muawatha’ oleh Imam Malik.[14]
Imam Malik (713-795 M), terdidik di kota Madinah dalam asrama yang meliputi di antaranya para sahabat, para thabi’in, para anshar, para cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas fikiran, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir dan menerima pengajaran, setia dan teliti.
Imam Malik dalam memberikan fatwa tentang urusan hukum-hukum keagamaan, adalah berdasarkan kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Atau hadist-hadist Nabi yang telah beliau ketahui dan beliau anggap sah (terang). Dalam hal ini beliau pernah berkata: Hukum itu ada dua macam : 1. Hukum yang telah didatangkan oleh Allah (Al-Qur’an), dan 2. Hukum yang datang dari Sunnah Rasul-Nya.
Ilmu Hadis, dalam bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadits Shahih, Dhaif dan Maudhu. Bahkan kemudian pula kritik sanad dan matan, sehingga terjadi jarah dan ta’dil rawi hadits.

Diantara para ahli hadits pada masa Dinasti Abbasiyah adalah
a.       Imam Bukhari (194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari.Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih Muslim.Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
b.      Abu Dawud, karyanya sunan Abu Dawud.Imam an-Nasai, karyanya Sunan an-Nasai.Imam Baihaqi.

c.       Ilmu Qira’at
Lahirnya ilmu ini karena adanya perbedaan lahjat dalam membaca Al-qur’an antar orang–orang Arab dengan orang Islam yang bukan orang Arab, perbedaan huruf Al-qur’an pada mashaf Usmani yang tidak bertitik dan berbaris. Dalam keanekaragaman itulah, tampil harun ibn musa al bashini sebagai orang pertama yang membahas bacaan dari segi dasar dan sanad yang dianut masing-masing.[15]
Beberapa tokoh qira’at yang terkenal pada masa itu antara lain seperti Nafi, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai Yahya Ibn Al-Haris, Al-Zimani, Hamzah Ibn Habib Dan Lain-Lain.
Pada masa itu pula lahir qiraah baru, yakni tilawah Al-qur’an. Ada yang berpendapat bahwa qira’ah  ini  telah ada pada masa nabi. Para ulam berbeda pendapat pembacaan Al-qur’an dengan tilawah, antara lain; Imam Malik melarangnya, sedangkan imam syfe’i membolehkannya.

d.      Ilmu Kalam
Ilmu Kalam, lahirnya ilmu kalam ada dua faktor : Faktor Pertama, untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat seperti halnya musuh yang memakai senjata itu. Faktor Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Kaum Mu’tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu kalam, karena mereka adalah pembela gigih tehadap Islam dari serangan, Yahudi, Nasrani, Wasani.
Munculnya ilmu kalam ini mempunyai kaitan erat dengan masuknya bangsa –bangsa yang telah berperadaban ke dalam yang menuntut menjelaskan aqidah islamiah, tidak cukup dengan dasar-dasar logika dan pemikiran filsafat saja. Selain itu, dimaksudkan pula untuk mempertahankan islam dari serangan luar dan sekaligus membawa perubahan besar dalam sejarah pemikiran aqidah Islam.
 Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa pahala, surga neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi.
Diantara tokoh ilmu kalam adalah Al-Juba’i, Wasil bin Atha, Abul Huzail al-Allaf (w.849 M), tokoh Mu’tazilah.. Imam Abul Hasan al-Asy’ari tokoh Asy’ariah. dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Di Basrah sebagai kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak lebih ekstrim sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-zahid yang terkenal di sini ialah Hasan Al-Basri (w.110 H) dan Rabiah Al-Adawiyah (w.185 H).
Suatu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kaum mutakallimin khususnya mu’tazilah, telah berhasil mempertahankan islam dari serangan orang-orang masehi, dengan menggunakan ilmu kalam ini. Turut pula mempengaruhi perkembangan ilmu kalam karena khalifah al ma’mun yang sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir. Hal ini lah antara lain mendorong hidup suburnya ilmu kalam dan filsafat didalam islam.

e.       Ilmu Fiqh
Timbulnya ilmu fiqh sehubungan timbulnya berbagai masalah dikalangan umat islam pada abad kedua hijriah. Jarak antara lahirnya Islam dengan daulah Abbbasiyah cukup jauh. Dalam hal semacam ini diperlukan adanya kepastian syra’ sehubungan dengan masalah-masalah yang timbul dikalangan umat islam tersebut. Maka munculah beberapa aliran.
Fiqh, yang pada masa dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri madzhab antara lain sebagai berikut
-          Imam Abu Hanifah (700-767 M). Menurut riwayat : Bahwa Imam Hanafy di kala belajar keadan Imam Amir bin Syarahil Asy Syu’by (wafat pada tahun 104H), guru ini setelah melihat dan memperhatikan keadaan pribadi beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati supaya rajin belajar ilmu pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang tertentu (khusus) di majlis-majlis para ulama, para cendikiawan pada waktu itu.
-          Imam Hanafy tertarik mempelajari ilmu pengetahuan “Fiqh” atau yang biasa disebut dengan “Ilmu Fiqih” ialah ilmu agama yang di dalamnya hanya melulu membicarakan atau membahas soal-soal yang bertalian dengan hukum-hukum, baik yang berkenaan dengan urusan ibadah maupun yang berkenaan dengan urusan mu’amalah atau yang berhubungan dengan masyarakat.
-          Imam Syafi’i (767-820 M). Tentang kecintaan ilmu pengetahuan, kecuali telah terbukti. Seperti yang dikatakan oleh al-Imam: Pengetahuan itu ada dua macam: pertama pengetahuan Fiqih untuk agama, dan kedua pengetahuan Thibb untuk keperluan tubuh.
-          Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Sejak kecil Imam Hambaly telah kelihatan sangat cinta kepada ilmu dan amat rajin menuntutnya. Dari karenanya beliau tidak berhenti dan tidak pula jemu menuntut ilmu pengetahuan, sampai tidak ada kesempatan untuk memikirkan mata pencariannya.


f.       Ilmu Tasawuf
Ilmu Tasawuf, adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta berbunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud ni tumbul pada akhir abad I dan permulaan abad II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Orang yang pertama kali yang memakai ilmu sufi adalah Abu Hasyim Al-kufi (w. 150 H). Imam Al-Ghazali (w. 502 H) kemudian mengembangkan melalui karya-karyanya, antara lain Ihya Ulum al-din dan masih banyak lagi tokok-tokoh lainnya. Mereka para ahli tasawuf ini, mengenyampingkan kehidupan duniawi, hidup dalam kesederhanaan, karena dengan demikian, mereka akan merasa lebih dekat dengan Tuhan.

g.      Ilmu Tarikh
Muhammad Ibn Ishak (w. 152 h) yang mula-mulanya menulis tarikh nabi Muhammad SWT, kemudian diringkaskan oleh Ibn Hisyam(w. 218 h)  dengan bukunya Syarh Ibn Hisyam. Penulis-penulis tarikh lainnya pada masa ini ialah Ibn Abi Mahruf, Al Waqidi, Ibn Al Kilbi, Ibn S’ad Ibn Al Hikam, Ibn Qutqidabah Dan Nubkhiti.
Sejarah, masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh sejarah lainnya antara lain:
-          Ahmad bin al-Ya’kubi (w.895 M) karyanya adalah al-Buldan (negeri-negeri), at-Tarikh (sejarah). Ibnu Ishaq.
-          Abdullah bin Muslim al-Qurtubah (w.889 M), penulis buku al-Imamah wa As-Siyasah, al-Ma’arif, Uyunul Ahbar, dan lain-lain.Ibnu Hisyam.Ath-Thabari (839 - 923 M), penulis buku Kitab al-Umam wa al-Muluk. Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. Lahir di amul, Thabaristan yang terletak di pantai selatan laut Thabaristan pada 839 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 923 M.
Sejak usia mudanya sudah berkecimpung dalam kehidupan intelektual. Usia mudanya dihabiskan untuk mengumpulkan riwayat-riwayat Arab dan Islam, dan setelah itu sebagian besar waktunya digunakan untuk mengajar dan menulis.
Secara garis besar, kandungan kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian sejarah sebelum Islam dan bagian sejarah Islam. Dalam mengumpulkan bahan-bahan sejarah ini, dia bersandar kepada riwayat-riwayat yang sudah dibukukan dan belum di bukukan. Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang hampir sezaman dengannya, ia melakukan pengumpulan riwayat-riwayat yang belum dibukukan dengan banyak melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu dan belajar kepada ulama-ulama termasyhur.
Al-Maqrizi.Al-Baladzuri (w.892 M), penulis buku-buku sejarah.

Selain ilmu tersebut ada juga ilmu yang berkembang pada masa Abbasiyah yaitu ilmu Sastra. Dalam bidang sastra, Baghdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra antara lain.
 Abu Nawas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya. An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (The Arabian Night), adalah buku cerita sastra Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.

h.      Ilmu Nahwu
Ilmu Bahasa, diantara ilmu bahasa yang berkembang pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Bayan, Ilmu Badi’, dan Arudh. Bahasa arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli ilmu bahasa adalah a) Imam Sibawaih (w.183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman. b) Al-Kiasi. c) Abu Zakaria al-Farra (w.208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.
Setelah pemerintahan dipegang oleh daulah Abbasiyah, perkembangan semakin lebih pesat lagi. Di Basrah dibangun madrasah yang khusus mendalami ilmu ini. Beberapa tokohnya yang Masyhur Seperti Sibawaihi, Isa Ibn Umar, Al Saqafi Abu Amr Ibn Al-A’la, dan lain-lain. Sedangkan di kufah, terkenal pula seperti Al Kasai, Abu Ja’far Al –Ruas dan lain-lain.[16]





2.      Bidang Umum (Ilmu Aqli)
a.      Ilmu Filsafat
Filsafat, Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa daulah Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, yang diterjemah oleh Hunayan yang menguasai bahasa Yunani dan Suryani. Dia mula-mula menerjemahkan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Suryani, kemudian dua orang pembantunya, anaknya sendiri (ishaq), dan keponakannya (Hubaisy) menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Ketika dia (Hunayn) memimpin lembaga tersebut, telah banyak buku yang dia terjemahkan, misalnya buku-buku Hepocrates, Galliens, buku-buku plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat. Bagaimanapun ada orang yang memberikan komentar bahwa ketika para penguasa dunia Islam dan para ilmuwannya sibuk menggeluti dunia pemikiran, filsafat, dan ilmu-ilmu yunani, pada saat yang sama penguasa negara-negara Eropa dan para tokohnya sibuk belajar menuliskan nama mereka sendiri.

Para filsuf Islam antara lain :Abu Ishaq al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.Abu Nasr al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-Mualimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedangkan guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Di antara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun Fi Ath-Thib (canon of medicine). Ibnu Bajah (w.581 H).Ibnu Tufail (w.581 H), penulis buku novel filsafat Hayy bin Yaqzan.Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan al-Hujjatul Islam. Karyanya antara lain : Maqasid al-Falasifah, al-Munqid Minadh Dhalal, Tahafut al-Falasifah, dan Ihya Ulumuddin. Ibnu Rusyd di Barat dikenal dengan Averros (1126-1198 M). Ibnu Rusyd, seorang filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain : Mabadi al-Falasifah, Tahafut at-Tahafut al-Falasifah, al-Kuliah fi ath-Thibb, Bidayah al-Mujtahid.

Folosof filosoof muslim, sebagaiman halnya dengan filosof ynani bukan hanya mempunyai sifat filosof, tetapi juga sifat ahli ilmu pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan filasafat  tetapi juga meliputi berbagai ilmu pengetahuan.[17]

b.      Ilmu Falak
Orang pertama yang menelaah ini adalah muhammad Ibn Ibrahim Al-Farazi. Diawali dengan lahirnya buku Al Shindu Hindu pada masa khlifah Al-Mansur, kemudian berkembang pada masa alma’mun dengan dibangunnya teropong bintang dan diterjemahkannya buku Yunandi Al-magiste, karya Potelemeus oleh Husain Ibn Ishak. Pada masa ini pula dikemukakan teori tentang terjadinya gerhana, dan tidak tampak matahari daerah kutub. Teori ini telah disempurnakan dengan alat pengukur dan kecepatan perjalanan bintang atau antropologi.

c.       Ilmu Kedokteran
Ilmu ini mulai dikenal pada masa daulah Abbasiyah dengan hadirnya George Bakhtisyu keistana, atas permintaannya Al-mansur untuk mengobati dirinya. George Bakhtisyu menetap di Bagdad dan menyusun ilmu kedokterannya dalam bahsa arab.kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Ibn Bakhtisyu (811 M) yang mana pada masa Harun Al Rasyid pernah menjadi kepala rumah sakit di Bagdad dan dijadikan dokter pribadi Harun Al Rasyid.
Ilmu Kedokteran pada masa daulah Abbasiyah berkembang pesat. Rumah-rumah sakit besar dan sekolah kedokteran banyak didirikan. Di antara ahli kedokteran ternama adalah
-          Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih (w.242 H), seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundhisapur Iran.Abu Bakar ar-Razi (Rhazes) (864-932 M) dikenal sebagai “Galien Arab”.Ibnu Sina (avicenna), karyanya yang terkenal adalah al-Qanun fi Ath-Thib tentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.Ar-Razi, adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles, ar-Razi adalah penulis buku mengenai kedokteran anak.
-          Farmasi, di antara ahli farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami al-Mufradat al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
-          Abu Ali Ibn Sina yang membuat julukan prince of physicians. Karya tulisannya adalah al qanun fi al thib, merupakan referensi standar kedokteran dinegara-negara islam dan Eropa dan masa itu dan sesudahnya. Karya tersebut telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa yang sampai akhir abad pertengahan, merupakan karya sistematis terkemuka yang mencakup teori dan praktik.
-          Al razi (razes) yang mendapat julukan hipocrates Islam dengan karyanya masing-masing Al Mansuri Dan Al Hawi. Keduanya diterjemahkan kedalam bahasa latin, Inggris, dan bahasa Eropa-Eropa lainnya.
-          Ali ibn isa dengan karyanya tadhbir al-kalahin (buku pedoman bagi ahli optalmologi). Beliau dikenal sebagai orang yang pertama kali yang menyarankan pembiusan atau anatesia dalam pembedahan.

d.      Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu ini telah dipakai secara paraktis, ketika membuat perencanaan pembangunan kota Baghdad pada masa Al Mansur. Pada masa Al Mahdi, Jabir Ibn Hayyam (721-815) telah menulis ilmu kimia, pertambangan dan batu-batuan yang dimanfaatkan oleh Barat dikemudaian hari. Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Ibn-Ibrahim Alfarazi, dengan menerjemahkan buku matematika Sinhind Dari India.
Matematika, terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi adalah pengarang kitab al-Jabar wal Muqobalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol. Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, III, IV, V dan seterusnya. Tokoh lain adalah abu al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin al-Abbas (940-998 M) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
Ilmu Astronomi, kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti bangsa Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu falak Jahiliah.
 Di antara ahli astronomi Islam adalah
-          Abu Mansur al-Falaki (w.272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat al-Ulum dan Hayat al-Falak.
-          Jabir al-Batani (w.319 H). Al-Batani adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab ma’rifat Mathiil Buruj Baina
-          Arbai al-Falak.Raihan al-Biruni (w.440 H). Karyanya adalah at-Tafhim li Awal as-Sina at-Tanjim.
Geografi atau ilmu yang berhubungan dengan alam, dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara wilayah pengembaraan umat Islam adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
Abul Hasan al-Mas’udi (w.345 H/956 M), seorang penjajah yang mengadakan perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina dan penulis buku Muruj az-Zahab wa Ma’adin al-Jawahir.
Muruj ad-Dzahab diawali paparan mengenai para khalifah. Setelah memaparkan kondisi geografis masing-masing wilayah Islam dibagian Timur, Barat dan Jazirah Arab termasuk agama-agama yang berkembang saat itu, ia membahas para penguasa kuno diwilayah-wilayah tersebut termasuk agama-agama mereka. Al-Mas’udi juga berjasa mengungkap sejarah tulisan Mesir berikut keunikan-keunikannya. Disusul tema-tema umum sejarah Islam yang dimulai dari uraian sirah Nabi, Khulafa Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah hingga tahun 336 H. Pada bagian penutup buku ini al-Mas’udi menjelaskan penelusurannya terhadap data-data sejarah setiap periode, berbagai peristiwa masa itu, kondisi alam, para penguasa dan biografi mereka, serta keadaan masyarakatnya. Ia tidak mengenal lelah dalam melacak berbagai informasi itu. Ia tidak mengenal lelah dalam melacak berbagai informasi itu. Ia tidak mengenal pada Madzhab, komunitas politik atau informasi pihak tertentu dalam penulisan sejarah.
Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi Islam tertua. Di antara karyanya adalah Masalik wal al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
Ahmad al-Yakubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan penulis buku al-Buldan.Abu Muhammad al-Hasan al-Hamadani (w.334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu Jazirah Al-Arab.
e.       Ilmu Fisika
Ada suatu hal yang merupakan ciri khas dari karya ahli fisika muslim pada masa itu, yakni terpadunya kepekaan terhadap azas-azas teori dasar yang mencerminkan kekaguman dan penghormatan terhadap ciptaan tuhan dengan pendekatan praktis.
Ahli fisika muslim yang terkenal, antara lain seperti Al-Biruni Dan Ibn Sina yang bekerja sama dalam menganalisa konsep-konsep fisika pada masa itu, Ibn Al-Haythan yang mempelopori study tentang gerak dan refraksi atau pembiasan cahaya  dan pendekatan terhadap hukumnya, dalam karyanya al-munzir.
Demikianlah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa daulah Abbasiyah yang telah mencapai puncaknnya, namun menurut Badri Yatim, kemajuan yang dicapai Abbasiyah tidak lepas dari dari usaha Bani Umayyah sebagai perintis kemajuan, namun uasah tersebut tidak terfokus, karena pada masa ini pusat perhatian terfokus pada pengembangan wilayah pengembangan islam.[18]
Namun walau telah mencapai puncak keemasannya pada daulah abbasiyah, namun kemunduran juga terjadi pada masa khalifah terakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
1.      Wilayah kekuasaan semakin luas
2.      Kemerosotan ekonomi
3.      Konflik keagamaan
4.      Ancaman dari luar seperti peperangan salib dan serangan mongol
5.      Terjadinya stagnansi dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Selain perhatiannya yang begitu besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan upaya Dinasti Abbasiyah (al-Ma’mun) memberikan kebebasan kepada akal, untuk mendiskusikan hal-hal yang ada kaitannya dengan akidah, al-Ma’mun juga meninggalkan sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam dan sejarahnya. Pada masa pemerintahannya digalakkan usaha pembauran antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain. Sebuah praktik yang kelak menjadi faktor penyebab menjamurnya perkawinan antar ras, poligami dan pernikahan terhadap budak belian. Hasilnya, fanatisme kabilah, yang boleh dikatakan bahaya terbesar bagi keutuhan negara, telah ditanggulangi sepenuhnya. Padahal waktu itu terjadi kesenjangan yang cukup hebat antara kaum muslim senior dan orang yang baru masuk Islam; antara pengikut aristokratisme yang mengandalkan keturunan dan kelompok baru yang terdiri dari atas pedagang, dokter, analisis, sastrawan, guru, ilmuwan, dan industriawan. Karena al-Ma’mun dapat mengatasi hal itu dengan baik, dia dapat dengan leluasa mengatur masyarakat Islam pada masa itu serta meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial mereka.
Sumber ilmu pengetahuan menurut para penganut aliran Materialisme adalah terbatas pada materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal rasionable dan hanya yang dapat dipahami oleh akal saja, mereka tidak mempercayai sumber ilmu pengetahuan apapun selain dari dua sumber di atas.
Kita umat Islam juga mempercayai dua sumber tersebut. Kita menganggap pancaindera dan akal sebagai instrumen penting ilmu pengetahuan bahkan sebagai kenikmatan karunia yang besar yang dianugrahkan Allah swt kepada manusia agar dapat memahami dirinya dan alam sekitarnya. Dengan akal dan panca indera itu juga ia dapat mengkaji dan mengerti hukum alam dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bahkan hukum dan rahasia alam semesta itu sendiri oleh Islam dianggap sebagai saksi terbenar bukti yang paling akurat yang menunjukkan eksistensi dan keagungan.[19]
 Dengan demikian, apabila Bani Umayyah dengan Damaskus sebagai ibu kotanya mementingkan kebudayaan Arab, Bani Abbasiyah dengan memindahkan ibu kota ke Baghdad, telah agak jauh dari pengaruh Arab. Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.

Disamping itu dalam perkembangan Islam masa klasik di zaman umayyah lebih kepada ekspansi daerah kekuasaan Islam sedangkan zaman abbasiyah adalah masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam dengan munculnya bait al-hikmah yang didirikan oleh al-Makmun, buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah ialah ilmu agama meliputi ilmu tafsir, hadis, fiqh dan ilmu umum yang meliputi kedokteran, matematika, optika, geografia, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.
Demikianlah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa daulah Abbasiyah yang telah mencapai puncaknnya, namun menurut Badri Yatim, kemajuan yang dicapai Abbasiyah tidak lepas dari dari usaha Bani Umayyah sebagai perintis kemajuan, namun uasah tersebut tidak terfokus, karena pada masa ini pusat perhatian terfokus pada pengembangan wilayah pengembangan islam.[20]
Namun walau telah mencapai puncak keemasannya pada daulah abbasiyah, namun kemunduran juga terjadi pada masa khalifah terakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
6.      Wilayah kekuasaan semakin luas
7.      Kemerosotan ekonomi
8.      Konflik keagamaan
9.      Ancaman dari luar seperti peperangan salib dan serangan mongol
10.  Terjadinya stagnansi dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Selain perhatiannya yang begitu besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan upaya Dinasti Abbasiyah (al-Ma’mun) memberikan kebebasan kepada akal, untuk mendiskusikan hal-hal yang ada kaitannya dengan akidah, al-Ma’mun juga meninggalkan sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam dan sejarahnya. Pada masa pemerintahannya digalakkan usaha pembauran antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain. Sebuah praktik yang kelak menjadi faktor penyebab menjamurnya perkawinan antar ras, poligami dan pernikahan terhadap budak belian. Hasilnya, fanatisme kabilah, yang boleh dikatakan bahaya terbesar bagi keutuhan negara, telah ditanggulangi sepenuhnya. Padahal waktu itu terjadi kesenjangan yang cukup hebat antara kaum muslim senior dan orang yang baru masuk Islam; antara pengikut aristokratisme yang mengandalkan keturunan dan kelompok baru yang terdiri dari atas pedagang, dokter, analisis, sastrawan, guru, ilmuwan, dan industriawan. Karena al-Ma’mun dapat mengatasi hal itu dengan baik, dia dapat dengan leluasa mengatur masyarakat Islam pada masa itu serta meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial mereka.
Sumber ilmu pengetahuan menurut para penganut aliran Materialisme adalah terbatas pada materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal rasionable dan hanya yang dapat dipahami oleh akal saja, mereka tidak mempercayai sumber ilmu pengetahuan apapun selain dari dua sumber di atas.
Kita umat Islam juga mempercayai dua sumber tersebut. Kita menganggap pancaindera dan akal sebagai instrumen penting ilmu pengetahuan bahkan sebagai kenikmatan karunia yang besar yang dianugrahkan Allah swt kepada manusia agar dapat memahami dirinya dan alam sekitarnya. Dengan akal dan panca indera itu juga ia dapat mengkaji dan mengerti hukum alam dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bahkan hukum dan rahasia alam semesta itu sendiri oleh Islam dianggap sebagai saksi terbenar bukti yang paling akurat yang menunjukkan eksistensi dan keagungan.[21]
 Dengan demikian, apabila Bani Umayyah dengan Damaskus sebagai ibu kotanya mementingkan kebudayaan Arab, Bani Abbasiyah dengan memindahkan ibu kota ke Baghdad, telah agak jauh dari pengaruh Arab. Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.
Disamping itu dalam perkembangan Islam masa klasik di zaman umayyah lebih kepada ekspansi daerah kekuasaan Islam sedangkan zaman abbasiyah adalah masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam dengan munculnya bait al-hikmah yang didirikan oleh al-Makmun, buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah ialah ilmu agama meliputi ilmu tafsir, hadis, fiqh dan ilmu umum yang meliputi kedokteran, matematika, optika, geografia, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.

Kesimpulan
Kekuasaan dinasti Bani  Abbasiyah  melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah.  Abbasiyah adalah keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas.
Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu:
1.             Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir        pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi      kehalifahan dan harta.
2.             Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah,        seperti khalifah Yazid bin al-Walid .
3.             Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan           oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah        sebagai putra mahkota.
4.             Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab      agama yang tidak benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5.             Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6.             Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir            pemerintahannya.
7.             Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Adapunm lembaga-lembaga pendidikan pada masa abbasiyah yaitu Kuttab, Mesjid, Pendidikan Rendah Di Istana (Qurhur), Toko-toko buku (al-hawarit al-waraqin), Perpustakaan(al-maktabah), Salun kesusasteraan( al-shalunat al-adabiyah), Rumah para ilmuan (bait al ulama’), Observatorium dan rumah sakit(al-bimaristan), Al-ribath, Al-zawiyah  yanzawi
Adapun ilmu yang tumbuh dan berkembangan pada masa daulah abbasiyah adalah
1.      Bidang agama (ilmu naqli) yaitu ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu qira’at, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu tasawuf, ilmu tarikh, ilmu nahwu,
2.      Bidang umum (ilmu aqli) yaitu ilmu filsafat , ilmu falak, ilmu kedokteran, matematika dan ilmu pengetahuan alam, ilmu fisika


                [1] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet. 1, hlm. 75
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo, 2009),  h.50              
3Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, hlm. 9 ( Jakarta : Bulan Bintang 1982)
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al Islam, (Kairo: Al Nahdah Al-Misyriyah, 1976), hlm. 222
[5]Badri Yatim, (Ed), Ensiklopedi Mini : Sejarah dan Kbudayaan Islam , Jakarta:  Logos, 1996, hlm. 74
[6] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2011, Cet. 1, hlm. 78.
[7] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, hlm. 49
[8] A Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 212
[9] Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1954), hlm. 89
[10] Ramayulis, Sejarah pendidikan Islam,(Jakarta ; Op dit ),hlm 80.

[12] Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam, Padang: IAIN, Press, 1981, Hlm. 58.
[13] Ibid, 85
[14] Ibid, 86
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Daulah Al Islami, Kairo : Maktabah Al Misyiriyah, 1978, hlm. 324
[16]Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 242.
17harun Nasution, Islam Ditimjau dan Berbagai Aspeknya. Jilid 1 Dan 2, (Jakarta :Penerbit Universitas      Indonesia, 2001), hllm. 10.
[18] Ramayulis, hlm. 93.
18Yusuf Al-Qardhawy, Iptek As-Sunnah Sebagai Sumber Dan Peradaban,  (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm.. 97.

[20] Ramayulis, hlm. 93.
18Yusuf Al-Qardhawy, Iptek As-Sunnah Sebagai Sumber Dan Peradaban,  (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm.. 97.

1 komentar:

  1. What Is Casino - Wooricasinos.info
    Casino Casino: What 슈어 벳 is a 식보 Casino? Casino is a sports betting platform 프라하 사이트 where people bet on the outcome of 바카라분석프로그램 a sporting event. 강원랜드 쪽박걸 It's usually referred to as

    BalasHapus