Setelah
belanda di taklukkan oleh Jepang di Indonesia pada tanggal 8 maret 1942, maka
belanda angkat kaki dari Indonesia. Semenjak itu mulailah penjajahan Jepang di
Indonesia.
Jepang
muncul sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita besar menjadi
pemimpin ASIA Timur Raya. Sejak tahun 1940 Jepang berencana untuk mendirikan
kemakmuran bersama ASIA Raya. Dalam rencana tersebut Jepang menginginkan
menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria,
Daratan Cina, Kepulauan Filifina, Indonesia, Malaysia, Thailand, IndoCina dan
Rusia. Oleh karena itu jepang menjajah indonesia memanfaatkan sumber daya yang
ada untuk mewujudkan cita-citanya. Pada kesempatan ini, saya akan membahas
bagaimana kondisi pendidikan pada masa penjajahan jepang.
1. Kondisi
Pendidikan Masa Penjajahan Jepang
Sistem
pendidikan Belanda yang selama ini berkembang di Indonesia, semuanya di ganti
oleh bangsa Jepang sesuai dengan sistem pendidikan yang berorientasi kepada
kepentingan perang. Tidak mengherankan bahwa segala komponen sistem
pendidikannya di tujukan untuk kepentingan perang.
Karakteristik
sistem pendidikan Jepang adalah sebagai berikut:
a.
Di hapusnya “Dualisme Pendidikan”
Pada masa Belanda terdapat dua jenis
pengajaran, yaitu pengajaran kolonial dan pengajaran Bumi Putra, oleh jepang
sistem seperti itu di hilangkan, Hanya satu jenis sekolah rendah saja yang di
adakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 Tahun, yang
ketika itu populer dengan nama”KOKUMIN GAKKO”. Sekolah-sekolah desa masih tetap
ada dan namanya di ganti menjadi sekolah pertama.
Jenjang pengajaran pun menjadi:
a.
Sekolah Rakyat 6 Tahun (termasuk sekolah
pertama)
b.
Sekolah Menengah 3 Tahun
c.
Sekolah Menengah Tinggi 3 Tahun (SMA-nya
pada zaman jepang)
b.
Berubahnya tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk
menyediakan tenaga Cuma-Cuma (romusha)
prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan jepang. Oleh
karena itu, murid-murid diharuskan latihan fisik, latihan kemiliteran dan
indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman jepang terdapat tanda-tanda tujuan
menjepangkan anak-anak indonesia. Maka di kerahkan lah barisan propaganda jepang
yang terkenal dengan nama “Sendenbu”, yang di beri tugas untuk menanamkan
ideologi baru, ideologi itu harus menghancurkan ideologi Indonesia raya.
c.
Proses pembelajaran diganti kegiatan
yang tak ada kaitannya dengan pendidikan
Proses pembelajaran di sekolah diganti
dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang di laksanakan di sekolah antara lain:
1.
Mengumpulkan batu, pasir untuk
kepentingan perang
2.
Membersihkan bengkel-bengkel, asrama
militer
3.
Menanam ubi-ubian, sayur-sayuran di
pekarangan sekolah untuk persediaan makanan
4.
Menanam pohon jarak untuk pelumas.
d.
Pendidikan dilatih agar mempunyai
semangat perang
Seorang pendidik sebelum mengajar di
wajibkan terlebih dahulu mengikuti didikan dan latihan (diklat) dalam rangka
penanaman ideologi dan semangat perang, yang pelaksanaannya diklat ini di
pusatkan di jakarta selama 3 bulan. Para guru yang sudah mengikuti diklat di
wajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada teman-temannya. Untuk
menanamkan semangat jepang tersebut, kepada murid-murid di ajarkan bahasa
jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.
e.
Pendidikan pada masa jepang sangat
memprihatinkan
Kondisi pendidikan jepang bahkan lebih
buruk dari pendidikan pada masa penjajahan belanda. Sebagai gambarannya dapat
dilihat dari segi kuantitatif trend nya mengalami kemunduran. Poesponegoro
menguraikan tentang jumlah sekolah dasar dari 21.500 menurun menjadi 13.500
buah, sekolah lanjutan dari 850 buah menjadi 20 buah, perguruan tinggi terdiri
dari 4 buah samasekali dapat melakukan kegiatannya. Jumlah murid sekolah dasar
merosot 30% murid, sekolah menengah menurun 90%. Guru sekolah dasar berkurang
35%, guru sokolah menengah yang aktif hanya sekitar 5% saja.
f.
Pemakaian bahasa indonesia sebagai
bahasa resmi
Pemakaian bahasa indonesia, baik sebagai
bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah,
telah dilakukan. Tetapi sekolah-sekolah itu di pergunakan juga sebagai alat
untuk memperkenalkan budaya jepang kepada masyarakat.[1]
2.
Kebijakan Jepang Terhadap Agama Islam
Walaupun
kondisi pendidikan pada masa Jepang demikian parahnya, namun bagi pendidikan
Islam ada sedikit nilai positifnya.
Menurut
Benda, secara umum pendidikan Islam di Indonesia terkait kepada dua hal, yaitu:
pertama, terkait dengan kondisi dan situasi yang sangat berpengaruh sekali
tentang pendidikan. Kedua, kebijakan Jepang terhadap Islam sejauh yang diamati
dalam lintasan sejarah Indonesia , ada dua hal pula yang disentuh dalam hal
ini, yaitu sikap dan pandangan Islam terhadap Jepang, dan sikap serta pandangan
Jepang terhadap umat islam di Indonesia. Yang pertama, pada masa awal masuknya
Jepang ke Indonesia, umat Islam penuh harap bahwa cita-cita kemerdekaan
Indonesia yang menjadi harapan bagi setiap bangsa Indonesia dapat terwujud,
dengan masuknya Jepang ke Indonesia dan terusirnya Belanda. Sebagai umat islam,
bangsa Indonesia yang selama ini merasakan adanya diskriminasi dalam soal
kehidupan beragama, dengan masuknya Jepang ke Indonesia akan berakhir.
Dari
pihak Jepang Sendiri pun tidak kalah kepentingannya terhadap umat Islam
Indonesia, sebab jumlah kekuatan umat islam yang mayoritas di Indonesia dapat
dijadikan modal dasar kekuatan untuk menghadapi perang pasifik, perang, Asia
Timur Raya. Karena itu Jepang selalu mengulang-ulang menyampaikan maksudnya
menghormati dan mengahrgai Islam. Di depan ulama, Letnan Jendral Imam Murah,
pejabat militer Jepang tertinggi di Jawa menyampaikan Pidato yang isinya bahwa
pihak Jepang bertujuan untuk melindungi dan menghormati Islam.
Terlebih-lebih
lagi pada awal pemerintahan Jepang menampakkan diri seakan akan membela kepentingan
Islam, mereka menempuh beberapa kebijakan, diantaranya ialah:
1.
Kantor Urusan Agama, yang ada pada zaman
Belanda disebut Kantoor Voor
Islamistische Zaken yang di pimpin oleh orang-orang orientalis Belanda,
diubah ke Jepang menjadi kantor Sumubi yang di pimpin oleh orang Islam sendiri
yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.
2.
Para ulama Islam bekerja sama dengan
pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan pembela tanah air
(PETA). Tokoh-tokoh islam para santri dan pemuda Islam ikut dalam latihan kader
militer tersebut, antara lain: Sudirman, Abd. Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman
dan lain lain. Tentara pembela tanah air inilah yang menjadi inti dari TNI
sekarang.
3.
Umat Islam diizinkan meneruskan
organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang
bersifat kemasyarakatan. Namun pada bulan oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan
Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI).[2]
3.
Perkembangan Pendidikan Islam Masa
Penjajahan Jepang
Sikap
penjajah Jepang terhadap pendidikan Jepang ternyata lebih lunak sehingga ruang
gerak pendidikan islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan Kolonial
Belanda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendidikan umat Islam untuk
berkembang.
1.
Madrasah
Awal pendudukan Jepang, madrasah berkembang
dengan cepat terutama dari segi kuantitas. Mumpung ada angin segar yang
diberikan oleh Jepang, walaupun itu lebih bersifat politis belaka, namun
kesempatan itu tidak di sia-siakan begitu saja dan umat islam Indonesia
memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, hal ini terutama dapat dilihat di
Sumatera yang terkenal dengan Madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis
Islam Tinggi.
Hampir di seluruh pelosok pedesaan
terdapat Madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak ank laki-laki dan perempuan.
Madrasah Awaliyah tersebut diadakan sore hari lebih kurang satu setengah jam
lamanya, materi yang ajarkan ialah belajar membaca alqur’an, ibadah, akhlak dan
keimanan sebagai pelatihan pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat
pagi hari.
2.
Pendidikan Agama di Sekolah
Sekolah Negeri di isi dengan pelajaran
budi pekerti. Hal ini memberi kesempatan bagi para guru agama islam untuk
megisinya dengan ajaran agama, dan di dalam pendidikan agama tersebut juga di
masukkan ajaran tentang jihad melawan penjajahan.
3.
Perguruan Tinggi Islam
Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya
sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir, dan Bung Hatta.
Walaupun jepang berusaha mendekati umat
Islam dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan dalam mengembangkan
pendidikan, namun para ulama tidak akan tunduk pada pemerintahan jepang,
apabila mereka menganggu akidah umat. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana
masa jepang ini perjuangan KH. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang
kebijakan kufur Jepang yang memerintahkan setiap orang pada jam 07:00 untuk
menghadap arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yang di anggap keturunan Dewa
Matahari. Akibat sikap tersebut beliau ditangkap dan dipenjara oleh jepang
selama 8 tahun.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara
umum terbengkalai, karena murid-muridnya sekolah setiap hari hanya disuruh
gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya.
Yang agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkungan
pondok pesantren masih dapat berjalan secara wajar.[3]
Kesimpulan
Pendidikan
islam pada masa jepang sangat memprihatinkan, jepang datang menjajah indonesia
setelah takluknya belanda ialah dengan memanfaatkan bumi putra untuk
kepentingan perang demi tercapainya cita-cita jepang untuk menguasai se Asia
Raya dengan begitu jepang menggunakan pendidikan sebagai alat dalam tujuannya.
Jepang menerapkan sistem yaitu jepang
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk menggantikan bahasa
belanda dan jepang juga menghapus sistem pendidikan era penjajahan belanda
Sikap
penjajah Jepang terhadap pendidikan Jepang ternyata lebih lunak sehingga ruang
gerak pendidikan islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan Kolonial
Belanda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendidikan umat Islam untuk
berkembang.
1.
Madrasah
2.
Pendidikan Agama di Sekolah
3.
Perguruan Tinggi Islam
[1]
Poesponegoro dalam Ramayulis, Aspek
Historia Islam Pendidikan Islam. (Padang: IAIN Press, 2009), h. 23.
[2]
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2012),h. 343.
[3]
Ibid, hal 344.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar