Selasa, 14 Juni 2016

Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda

Penjajahan kolonial belanda juga berperan dalam mempengaruhi pendidikan yang ada di Indonesia. Belanda menjajah indonesia sangat lama dibanding dengan jepang. Namun belanda tidak terlalu antagonis dalam mewujudkan keinginan bangsanya tidak seperti halnya jepang, walau tergolong singkat namun terkenal kekejaman seperti adanya tanam paksa, memanfaatkan bumi putra dan sebagainya. Pada pembahasan kali ini saya akan memaparkan  bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan belanda, bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan oleh kolonial belanda berikut penjelasan.
1.         Sistem Pendidikan Kolonial Belanda
            Ekonomi dan penjajah, menjadi unsur penting yang senantiasa dikaitkan dengan sistem pendidikan Belanda. Dalam hubungannya dengan kepentingan itu, maka para penyusun konsep pendidikan, agaknya tak dapat melepaskan diri dari kondisi sosial ekonomi dan politik pemerintahan pusat Nederland, dan kaitannya dengan kepentingan politik Hindia Belanda.[1] Dengan demikian setiap kebijakan yang dijalankan di bidang pendidikan cenderung berkaitan dengan kepentingan politik kolonial Belanda di Indonesia.
a.              Dasar dan Tujuan Pendidikan Kolonial Belanda
               Semenjak abad ke 20, arah etis (Etische Koers) dijadikan landasan idiil dalam sistem pendidikan di Hindia Belanda. Sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, maka disusun pulalah dasar pikiran yang bertumpu atas dua pokok pikiran.(1) pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan Bumiputera; dan (2) pemberian pendidikan rendah kepada golongan Bumi putera, disesuaikan dengan tenaga kerja murah.

b.             Ciri-ciri Umum Pendidikan Kolonial Belanda
               S. Nasution mengklasifikasikan ciri umum pendidikan kolonial Belanda menjadi enam ciri yaitu: (1) gradulisme; (2) dualisme; (3) pengawasan pusat yang ketat; (4) pendidikan pegawai lebih diutamakan; (5) konkordansi; dan (6) tidak ada perencaaan yang sistematis bagi pendidikan pribumi. Sedangkan menurut Ki Suratman, ada tiga ciri pokok, yakni (1) pendidikan bersifat heterogen (banyak ragamnya); (2) pendidikan bersifat deskriminatif; dan (3) pendidikan cenderung intelektualistik. Lebih juh Ki Hajar Dewantara, yang melihatnya dari kepentingan pendidikan rakyat pribumi sebagai suatu bangsa, menilai pendidikan Belanda bersifat kolonialistis dan intelektualistik.

c.              Pelaksanaan Pendidikan Kolonial Belanda
               Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah pemerintahan di Hindia Belanda, pada dasarnya merupakan cerminan dari sistem pendidikan kolonial Belanda. Tujuan, ciri-ciri umum dan bentuk kelembagaan yang diterapkan di sekolah-sekolah tersebut, adalah merupakan realisasi dari sistem pendidikan yang mereka programkan.
               Ada kaitannya antara politik dan pendidikan, agaknya ikut menjadikan sistem pendidikan kolonial Belanda menjadi rumit. Keinginan untuk menerapkan prinsip deskriminasi,menyebabkan penjenisan sekolah menjadi banyak.[2]

2.             Sistem Pendidikan Islam pada masa penjajahan
        Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam yaitu: (1) sistem pendidikan peralihan Hindu Islam; (2) sistem pendidikan surau (Langgar); dan (3) sistem pendidikan Pesantren.
a.       Sistem Pendidikan Peralihan Hindu Islam
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Pada garis besarnya, pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, yakni : (1) sistem keraton; dan (2) sistem pertapa.
           Sistem pendidikan keraton ini dilaksanakan dengan cara, guru mendatangi murid-muridnya. Yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa, para murid mendatangi guru ke tempat pertapaannya. Adapun murid-muridnya tidak lagi terbatas pada golongan bagsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.

b.      Sistem Pendidikan Surau
1.      Asal Usul Surau
Surau merupakan istilah yang banyak digunakan di Asia Tenggara, seperti Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya, Patani (Thailand). Namun yang paling banyak dipergunakan di Minangkabau. Secara bahasa kata surau berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, Surau adalah bangunan kecil yang di bangun untuk menyembah nenek moyang.
Seiring dengan kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam dimulai oleh Syeikh Burhanuddin sebagai pembawa islam dengan menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikan Surau. Di surau ini anak laki-laki umumnya tinggal, sehingga memudahkan Syeikh menyampaikan pengajarannya.
2.      Perkembangan Surau
Menurut sejarawan bahwa memang cikal bakal Surau tumbuh dan berkembang dalam tradisi kegamaan dan pendidikan Islam di Minangkabau pertama kali diawali oleh Syeikh Burhanuddin di Ulakan Pariaman. Setelah beliau kembali menuntut ilmu dari Aceh pada Syekh Abdul Rauf Singkel maka beliau mengembangkan dan mengajarkan agama islam. Sebenarnya sangat sulit untuk membedakan lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan yang dimiliki surau pada umumnya, apalagi bila yang menjadi ukuran Surau Syekh Burhanuddin yang timbul pada paroh abad ke-17, karena informasi yang banyak tentang surau ini dan surau-surau pada umumnya disaat itu hanya menyangkut tentang tarikat dengan berbagai ordonya, di samping pengenalan hukum syari’at (fiqh).
Kemasyhuran Surau Syekh Burhanuddin sebagai lembaga yang mempunyai otoritas tertinggi dalam bidang kegamaan menjelang akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 yang terus melebarkan sayapnya ke pedalaman Minangkabau, yang meliputi daerah Kapas-Kapas, Mansiangan, Padang Panjang, dan Agam Selatan.
Dinamisasi Surau sebagai lembaga keagamaan terus mengalami pasang surut menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hal ini disebabkan oleh : (1) adanya gerakan pembaruan “Kaum Muda” dalam bidang pendidikan dengan sistem madrasah yang ditata secara modern; dan (2) adanya pendidikan Kolonial Belanda, yang menerapkan pendidikan “sekuler” dengan tawaran subjek pembelajaran yang berorientasi pada perekrutan tenaga kepegawaian pada pemerintah dan perusahaan dengan cara pilih kasih terhadap masyarakat Bumi Putra.
3.      Sistem Pendidikan Pada Surau
Sistem pendidikan di Surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkat keilmuan nya, proses belajar nya tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. Dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja atau pun papan tulis yang ada hanya kitab kuning merupakan sumber utamanya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembelajaran di Surau dengan memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. Materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada Urang Siak dilaksanakan sambil duduk dilantai dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting di sisi kitab yang di bahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan istilah Halaqah.[3]
c.       Sistem Pendidikan Pesantren
1.      Asal Usul Pesantren
Secara garis besarnya, dijumpai dua macam pendapat yang mengutamakan tentang pandangannya tentang asal usul pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam.
Pertama, pesantren adalah institusi pendidikan islam, yang memang berasal dari tradisi islam. Mereka berkesimpulan, bahwa pesantren lahir dari pola kehidupan tasawuf, yang kemudian berkembang di wilayah islam, seperti Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan sebutan Zawiyat.
Kedua, pesantren merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu Budha yang sudah mengalami proses Islamisasi.nmereka melihat adanya hubungan antara perkataan pesantren dengan kata shastri dari bahasa Sanskerta.
Yang jelas pesantren adalah lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia. Peneliti sejarah berpendapat, bahwa abad ke-15 pesantren pertama sudah berdiri di Jawa Timur, atas inisiatif para wali penganjur islam.
2.      Eksistensi Pesantren
Mahmud Yunus menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengorganisasikan pesantren di Jawa, adalah Raden Fatah, tahun 1476. Usaha tersebut merupakan lanjutan dari aktivitas gurunya, yaitu Sunan Ampel sebagai pendiri pondok pesantren ynag pertama kali di pulau Jawa.[4]
Dalam pengembangan selanjutnya, pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam ini disatukan dengn kegiatan dan tugas-tugas dakwah. Peranan ganda ini kemudian menjadi potensi yang ikut berpengaruh dalam kegiatan politik pendidikan. Di zaman kerajaan islam, pondok pesantren ikut dalam menentukan watak keislaman, dan menjelang tahun 1900, ideologi politik keagamaan yang bercorak menantang kekuasaan kolonial Belanda terbentuk di institusi pendidikan ini. Dengan demikian peran pesantren dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa terlaksana selama tiga setengah abad di Indonesia.
3.      Klasifikasi Pesantren
Pesantren-pesantren di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi (1) menurut sarana yang dimiliki dan (2) sikap mereka terhadap tradisi.
Dari segi tinjauan yang pertama, pesantren dapat diklasifikasikan kepada berbagai macam jenis, tetapi setiap jenis tidak tergambar si dan kegiatannya. Dari segi sikap terhadap tradisi, pesantren dibedakan kepada tiga kategori, yaitu (1) pesantren salafi (2) pesantren khalafi (3) pesantren modern.

4.      Sistem Pesantren
a.       Tujuan pesantren
     Tujuan utama pendidikan pesantren tampaknya dirumuskan berdasarkan petunjuk al-qur’an surat al-Taubah. Petunjuk tersebut menjelaskan adanya tiga ciri yang dimiliki setiap santri. Pertama, setiap santri harus belajar dan mampu mendalami ilmu agama (tafaqquh fi al-din). Kedua, setiap santri mampu memberi peringatan kepada masyarakat (al-inzar) dan ketiga, setiap santri mampu menjadikan diri dan masyarakatnya sebagai perisai terhadap hal-hal yang merusak aagama (al-ihzar).
b.      Metode yang digunakan
Metode-metode yang digunakan yaitu:
·         Metode Sorogan,  atau layanan individual, yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kyai hanya menghadapi seorang santri atau kelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar.
·         Metode Wetonan dan Bandongan, atau layanan kolektif, ialah metode mengajar dengan sistem ceramah.
·         Metode musyawarah adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran pelajaran santri di tingkat tinggi.[5]
5.      Unsur Pesantren
Unsur-unsur yang terdapat dalam pesantren terdiri atas:
a.       Pondok
Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama dimana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan Kyai. Pada umumnya komplek pesantren dikelilingi dengan pagar sebagai pembatas yang memisahkan pesantren dengan masyarakat umum di sekelilingnya.
b.      Masjid
Dalam struktur pesantren masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren, karena ia merupakan tempat umum yang  ideal untuk mendidik dan melatih para santri.
c.       Kyai
Ciri yang paling esensial bagi suatu pesantren adalah adanya seorang Kyai. Kyai pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu dan menguasai ilmu agama islam.
d.      Santri
Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolak ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santri, pesantren dinilai semakin maju.

6.      Kurikulum Pesantren
Menurut Karel A. Steenbrink semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van De Berg seorang pakar pendidikan dari belanda. Berdasarkan wawancaranya dengan para Kyai, dia mengkomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura. Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umunya masih di pakai sebagai buku pegangan di pesantren. Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut, Karel A. Steenbrink menyimpulkan anatara lain kitab-kitab yang di pakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia islam.[6]

            Kesimpulan
           Dapat kesimpulan secara umum sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan berdasarkan keturunan, golongan bangsawan, lapisan kelas atas sosialnya atau bawahan semua dibedakan dalam pendidikannya yang berlaku pada waktu itu . Penididikan Islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam yaitu: (1) sistem pendidikan peralihan Hindu Islam; (2) sistem pendidikan surau (Langgar); dan (3) sistem pendidikan Pesantren, secara umum tujuan sekolah yang dibuat oleh Hindia belanda adalah merupakan realisasi dari sistem pendidikan yang mereka programkan.


[1] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Bandung : Jemmers, 1987), h. 1
[2] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012),h. 249-251.
[3] Ibid, h. 253-259.
[4] Mahmud Yunus, op.cit., h.217.
[5] Bandingkan Tim Depag RI, Pedoman pembinaan Pesantren, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1983), h. 8.
[6] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012),h. 272.

1 komentar:

  1. Betway App Download for Android and iOS - JT Hub
    If you're using 광양 출장마사지 an 군산 출장마사지 android version of the Betway app, you might want to download the 고양 출장샵 latest version 강원도 출장마사지 for your 공주 출장마사지 device.

    BalasHapus