Dalam
sejarahnya, pendidikan Islam telah mengalami pasang surut. Dari zaman
Rasulullah saw. hingga tiga rezim sesudahnya (kekhalifahan Rasyidin, Daulah
Umaiyyah, dan Abbasiyah) masing-masing dengan karakteristik perkembangannya
yang beragam sesuai dinamika yang berkembang pada masa itu. Masa keemasan Islam
atau sering disebut peradaban Islam dalam bidang pendidikan ditancapkan pada
masa Daulah Abbasiyah. Sebuah rezim yang dalam sejarah Islam dinisbahkan dari
mana silsilah keluarga Nabi Muhammad saw., al-Abbas (paman Nabi). Kemajuan yang
pesat diperoleh dinasti Abbasiyah dalam berbagai bidang kehidupan pada masa itu
untuk sekedar membandingkan dengan peradaban Islam kini secara jujur diakui,
belum tertandingi.
Masa ini
dengan dimulai dengan berkembang pesatnyya kebudayaan Islam, yang ditandai
dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah
(sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat
kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan
universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya dalam
membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu
pengetahuan yang berrkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan
pembentukan dan perkembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslim. Dalam
kesempatan ini saya akan membaha tentang bagaimana pendidikan islam masa abbasyiah
serta perkembangannya dan proses yang menjadikan masa abbasyiah adalah
masa keemasan islam.
A.
Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan
dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan
melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah
keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah
Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan
penderiannya dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan
Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan
kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di
zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa
jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka
berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah
mendapat dukungan. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Tetapi,
orang-orang Persia yang masih berpengang pada prinsip hak ketuhanan yang suci,
terus berusaha menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa
Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan. Pada pandangan publik umumnya, golongan
Alawiyin adalah lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah
yang menjadi anak baginda, dan juga karena keduduk an Ali yang menjadi sepupu
dan menantu baginda.
Kemudian
karena keutamaan Ali yang telah memeluk agama Islam lebih dahulu dari yang
lain-lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan Islam. Tetapi,
golongan Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama
dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah karena moyang mereka ialah paman baginda
dan pasukan peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada
paman, dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan
adanya pihak ‘ashabah.
Faktor-faktor pendorong berdirinya
Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu
1. Banyak
terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir
pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi
kehalifahan dan harta.
2. Pendekanya
masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti
khalifah Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3. Dijadikan
putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh Marwan
bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra
mahkota.
4. Bergabungnya
sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5. Hilangnya
kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6. Kesombongan
pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7. Timbulnya
dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Dari
berbagai penyebab-penyebab di atas dan dengan ketidaksenangan Mawali pada
Binasti Ummayah mengakibatkan runtuhnya dinasti dan berdiri Dinasti Abbasiyah
hal ini dapat dilihat dengan bantuan para Mawali dari Khurasan dan Persi.
Misalnya, bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani, ia berhasil menjadi pemimpin di
Khurasan yang pada awalnya di bawah kekuasaan Ummayah.
Daulah Abbasyiah berkuasa selam 524 tahun yaitu dari tahun 132-556
h/750-1258 m, atau sekitar 6 abad lamanya. Sistem pemerintahan Abbasyiah meniru
cara Umayyah. Dasar-dasar pemerintahan Abbasyiah diletakan oleh kedua Khalifah
yaitu Abu Ja’far Al Mansyur. Sistem politik Abbasyiah yang dijalankannya antara
lain antra lain; para daulah dari turunan arab murni, kota bagdad sebagai ibu
kota negara yang menjadi pusat kegiatan politik, ilmu pengetahuan dipandang
sebagai sesuatu yang sangat penting, kebebasan berfikir ham pernah diakui penuh,
dan para menteri turunan persia diberi hak penuh dalam menjalankan
pemerintahan. Sedangkan sistem sosial kemasyarakatan terjadi perubahan yang
sangat menonjol, diantaranya adalah
1. Tampilnya
kelompok mawali yang menduduki peraan dan posisi penting di pemerintahan
2. Masyarakat
terdiri dari dua kelompok yaitu;
a. Kelompok
khusus, yaitu bani hasyim, pembesar negara, bangsawan yang bukan bani Hasyim
b. Kelompok
umum, yaitu seniman, ulama, pengusaha, pujangga, dan lain-lain.
3. Dalam
kekuasaaan bani abbasiyah terdapat bangsa yang berbeda-beda( bangsa Mesir,
Syam, Jazirah Arab, Irak, Persia, Turki)
4. Lahirnya
keturunan baru akibat terjadinya perkawinan campuran dari berbagai bangsa
5. Lahirnya
kebudayaan baru akibat terjadinya pertukaran pikiran dan budara yang dibawa
oleh masing-masing bangsa[1]
B.
Perkembangan
Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
Dalam sejarah islam tercatat, bahwa
salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan
Islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban
yang tinggi, di antaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Gambar : Wilayah Kerajaan Dinasti Abbasiyah
Dari
perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbas dalam sejarah lebih maju di
bidang ilmu dan pendidikan ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah
kepada Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih
dari itu telah mengubah, menoreh wajah dunia Islam dalam reflesi kegiatan
ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan iklim
pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.[2]
1.
Faktor-Faktor
Yang Mendorong Kemajuan Pendidikan
a. Adanya
kekayaan yang melimpah dari hasil kharaj, baik pertanian maupun perdagangan.
Dengan dana kekayaan tersebut para khalifah dapat dengan mudah merealisir
perencanaannya didalam dan diluar negri, serta pengembangan ilmu pengetahuan.
b. Perhatian
beberapa khalifah yang besar kepada ilmu pengetahuan seperti: Al Mansyur(754-775m),
Al Mahdi(775-785m), Harun Al Rasyid ( 785-809), Al Ma’mun(813-833), al
wathiq(824-847) dan al mutawakkil(847-861). Tak kalah pentingnya ialah pengaruh
keluarga Barmak, yang berasal dari Balkh (Bactra ), pusat ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani Dipersia. Keluarga Barmak ini mempunyai pengaruh dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani di Bagdad. Mereka disamping menjadi
Wazir, juga menjadi pendidik dari anak-anak khalifah[3]
c. Kecenderungan
umat Islam dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan besar sekali, maka
banyak lah ulam disetiap kota Islam pada masa itu.
d. Kondisi
masyarakat Irak, yang mendesak, perlunya suatu ilmu baru karena sungai Dajlah
dan Furat menuntut penataan sistem pengairan yang lebih baik serta pengolaan
perpajakan yang lebih sempurna .
e. Umat
Islam pada masa itu telah bercampur baur dengan orang-orang Persia, terutama
Mawali, merekan inilah yang memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari
bahasa mereka kedalam bahasa Arab.[4]
f. Bagdad
sebagai pusat pemerintahan, lebih dahulu maju dalam ilamu pengetahuan, dari
pada Damaskus pada masa itu,
g. Lancarnya
hubungan kerja sama, dengan negara-negara maju lainnya seperti; India,
Bizantum, dan sebagainya.
2.
Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam Dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Daulah Abbasiyah
Kemajuan dalam bidang Pendidikan
Melalui Berbagai Bentuk Dan Jenis Lembaga Pendidikan. Pendidikan anak-anak
dimulai di rumahnya masing-masing. Ketika si anak mulai bisa bicara, si ayah
wajib mengajarinya untuk mengucapkan kalimat tauhid: la> ila>ha illa>
Alla>h. Dan ketika ia berumur enam tahun ia mesti diajari untuk melaksanakan
sholat wajib. Pada usia itu pulalah dimulainya pendidikan formal.
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat
kegiatan Dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan Centre Of Education. Pada Dinasti
Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam Ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:
a.
Kuttab atau maktab
Maktab/kuttab, berasal dari kata katab yang
berarti menulis atau tempat menulis. Namun akhirnya memiliki pengertian sebagai
lembaga pendidikan dasar. Menurut sejarah , kuttab telah ad sejak pra Islam.
Diperkirakan mulai dikembangkan oleh pendatang ke tanah Arab, yang berdiri dari
kaum Yahudi dan Nasrani sebagai cara mereka mengajarkan taurat dan injil,
filsafat, Jadal (ilmu debat), dan topik-topik yang berkenaan dengan agama
mereka.[5]
Kutab (sekolah dasar) biasanya merupakan
bagian yang terpadu dengan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja
belajar dasar-dasar ilmu agama.
Kutab pada masa ini merupakan kelanjutan
dari Kuttab pada masa daulah Umayyah.
Para ahli sejarah pendidikan sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang
sama, dalam arti lembaga pendidikan istilah tingkat dasar yang mengajarkan
membaca dan menulis, kemudian meningkat pada pengajaran Al -Quran dan
pengetahuan agaman tingkat dasar. Namun demikian, ada juga yang membedakan
keduanya dalam fase, yaitu bahwa Maktab
adalah istilah lembaga pendidikan islam zaman modern, sedangkan Kuttab adalah istilah lembaga pendidikan
zaman klasik.
sedangkan
kurikulum pendidikan digunakan di Kuttab ini
beroriantasi kepada Al-Quran sebagai textbook.
Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa
Arab dan sejarah, khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Mengenai
waktu belajar di Kuttab, dimulai dari hari sabtu pagi sampai dengan hari kamis
siang dengan materi sebagai berikut: (1)Al-Qur’an, dari pagi sampai dhuha,
(2)menulis; dari dhuha sampai dengan zhuhur, dan (3)gramatika bahasa Arab,
matematika dan sejarah; ba’da zhuhur
sampai siang.[6]
b.
Masjid
Fungsi
masjid sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur, bukan sekedar berfungsi
sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan
pendidikan dan kebudayaan.
Sistem pembelajaran
di dalam mesjid, berbentuk halaqah,
berkembang dengan baik pada masa Abbasiyah, sejalan dengan munculnya
bermacam-macam pengetahuan agama, sehingga terkadang didalam suatu masjid besar
terdapat beberapa halaqah dengan materi pembelajaran berbeda seperti; nahu,
ilmu kalam, fiqh dan lain-lain. Ini terjadi dimesjid Al Kasai dan Manshur di Bagdad.[7]
Agaknya yang
menjadikan mesjid sebagai salah satu pusat kegiatan pendidikan ialah karena
materi pembelajaran yang diajarkan pada tahun-tahun pertama lahirnya islam,
adalah mata pelajaran agama yang tentu saja erat pertaliannya dengan mesjid.
Bahkan lebih dari itu, masjid dikala itu juga berfungsi sebagai tempat
peradilan, tempat tentara berkumpul dan lain-lain
Dalam
perkembangan selanjutnya, disamping mata pelajaran agama, mata pelajaran umum
jaga diajarkan, seperti bahasa, ilmu hisab, kedokteran dan sebagainya.
Pada
perkembangan selanjutnya mulailah dibuka pusat studi umum dan teologi
(madrasah) yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H.
Nizhamul Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk
yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat
ditemukan di Baghdad, Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan
kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah,
menengah serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.[8]
persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran.
c.
Pendidikan Rendah Di Istana
Timbulnya
pendidikan rendah di istana untuk
anak-anak para pejabat berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus
bersifat menyiapkan peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak
setelah dewasa. Untuk itu, daulah dan keluarganya serta pembesar istana lainnya
berusaha menyiapkan anak-anaknya agar sejak kecil sudah diperkenalkan
lingkungan dan tugas-tugasnya yang akan diembannya nanti. Oleh karena itu,
mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak
mereka.[9]
Berbeda
dengan pendidikan anak-anak di kuttab;
di istana orang tua muridlah (para
pembesar istana) yang membuat rencana pembelajaran sesuai tujuan yang
dikehendaki oleh orang tua sejalan dengan tujuan serta tanggung jawab yang akan
dihadapi sang anak kelak.
d.
Toko-toko buku (Al-Hawarit
Al-Waraqin)
Selama masa
kejayaan toko-toko buku ini tidak saja menjadi pusat pengumpulan dan penyebaran
(penjualan) buku-buku, tetepi juga menjadi pusat study dengan lingkaran studi
berkembang di dalamnya. Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagi tuan rumah, dan kadang-kadang
berfungsi sebagai mualim lingkaran studi (halaqah)
yang memimpin pengajian, sebagian toko buku adalah para ulama. Hal ini
menunjukan bahwa betapa antusiasnya umat Islam pada masa itu dalam menuntut
ilmu[10]
e.
Perpustakaan(Al-Maktabah)
Salah satu
perpustakaan yang sangat terkenal yaitu Bait
Al Hikmah, didirikan oleh Harun Al-Rasyid. Perpustakaan dikatakan sebagai
lembaga pendidikan karena sebagaimana yang diketahui, bahwa pada masa itu,
buku-buku mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang
kaya saja yang bisa memiliki secar pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat
umum pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana
memperoleh ilmu pengetahuan, dan untuk selanjutnya dikembangkan.
Dimasa Al-Ma’mun,
perkembangan perpustakaan ini semakin lebih pesat lagi, setelah adanya kontak
dengan berbagai daerah dalam usaha memperoleh buku-buku untuk diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Mereka yang bekerja dalam kegiatan ini dianataranya: Alhajjaj
Ibn Matar, Ibn Al Bathariq, Salman Dan Yatmi Hunain Ibn Ishaq.
f.
Salun kesusasteraan( Al-Shalunat Al-Adabiyah)
Salun
kesusteraan adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh para khalifah untuk
membahas berbagai macam ilmu pengetahuan.
Majelis seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Khulafa’al
Rasyidin, dan diadakan dimesjid. Namun pada masa Umayyah, pelaksanaannya
dipindahkan keistana dan hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu saja
Pada masa
Harun Al-Rasyid (170-193) majlis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa,
karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan yang cerdas, sehingga
beliau aktif didalamnya. Pada masa itu beliau sering mengadakan perlombaan
antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fukaha dan juga sayembara antara ahli
kesenian dan pujangga.[11]
g.
Rumah para ilmuan (Bait
Al Ulama’)
Beberapa
ilmuan menjadikan rumah mereka berbagai lembaga pendidikan, antara lain seperti
rumah Abi Muahmmad Ibn Hatim Al-Razi Al-Hafiz dalam mempelajari ilmu-ilmu
hafiz. Rumah ibn sina dalam mempelajari ilmu kedokteran, dan rumah Sbi Sulaiman
Al Sajastani dalam mempelajari ilmu filsafat dan ilmu mantiq.
Diadakannya
rumah beberapa ilmuan ini sebagai lembaga pendidikan dilatar belakangi kemungkinan
pertimbangan sebagai berikut:
a.
Rumah ini dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal
yang bersifat khusus
b.
Situasi dan kondisi guru yang mengajar agak terbatas,
misalnya terlalu sibuk, lelah, agak tua dan lain-lain.
c.
Adanya anggapan, bahwa mendatangi guru untuk belajar
lebih baik dari pada guru yang mendatangi murid.
h.
Observatorium dan rumah sakit (al-bimaristan)
Sebagaimana
halnya perpustakaan, observatorium juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan
atau sebagai tempat untuk transmisi ilmu pengetahuan. Di observatorium ini
sering diadakan kajian-kajian ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani. Para ilmuan
melakukan pengamatan dan riset di observatorium tersebut.[12]
Selain
obsarvatorium, rumah sakit juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan,
terutama bagi calon dokter atau orang yang sedang menuntut ilmu kedokteran.
i.
Al-ribath
Ribath
adalah tempat kegiatan sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi
dan mengkonsentrasikan diri untuk semat-mata beribadah , juga memberikan
perhatian terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syeikh yang terkenal dengan ilmu
dan kesalehannya.
Ribath biasa
dihuni oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan kegiatan sufidtik.
Bangunan ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk beribadah dan mengajarkan
pelajaran agama.
j.
Al-zawiyah yanzawi
Zawiyah
merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan
membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah
yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan oleh para sufi sebagai tempat
halaqah berzikir dan tafaqur untuk mengingat dan merenungkan
keagungan Allah swt.
Kata zawiyah berasal dari kata inzawa, , berarti mengambil tempat
tertentu disudut masjid yang digunakan untuk iktikaf dan beribadah.
Demikianlah
jenis lembaga pendidikan islam yang berkembang pada masa itu, walau pun secara
fisik lembaga pendidikan diatas , belum dapat diakatkan persekolahan yang
datang kemudian, namun dari segi hasil, justru dapat melahirkan ilmuan dan
cendikiawan terkemuka yang sangat masyhur, bukan hanya pada masanya, melainkan
masa sesudahnya.
C. Ilmu-Ilmu Yang Tumbuh Dan Berkembang Pada Masa Daulah
Abbasiyah
Kemajuan
yang dicapai oleh daulah Abbasiyah, khususnya dalam bidang ilmu merupakan
puncak kejayaan Islam sepanjang sejarah hal ini disebabkan(1)Situasi dan
kondisi yang sangat menunjang, (2) keterlibatan semua phak secara ikhlas dan sungguh-sungguh,
(3) adanya kemerdekaan dan kebebasan berfikir, membuat islam sangat dinamis dan
kreatif, jauh dari sikap fatalis dan taklid. Perkembangan ini juga membawa
daulah Abbasiyah ketempat utama dan terhormat dalam kebudayaan, peradaban serta
dunia pemikiran atau filsafat.[13]
Gerakan
keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik. Kajian keilmuan yang
kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping
kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadis; sedang astronomi, mantiq dan
sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
Adapun
ilmu-ilmu yang tumbuh dan berkembang pada masa daulah Abbasiyah ialah ada dua
bidang yaitu
1. Bidang Agama (Ilmu Naqli)
a. Ilmu Tafsir
Tumbuh dan
berkembangnya ilmu tafsir dalam abad ketiga hijrah dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar yang mendesak, untuk memahami arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai akibat semakin
bertambah banyaknya pemeluk Islam yang bukan Arab.
Ilmu Tafsir,
al-Qur’an adalah sumber utama agama Islam. Oleh karena itu, segala perilaku
ummat Islam harus berdasarkan kepadanya, hanya saja tidak semua bangsa Arab
memahami arti yang terkandung didalamnya. Sebab untuk memahami suatu kitab
tidak cukup hanya mengerti bahasanya saja tetapi diperlukan keseimbangan taraf
pengetahuan antara buku yang dibaca dengan pembacanya. Maka bangunlah para
sahabatnya untuk menafsirkannya. Ilmu ini mengalami perkembangan serta kemajuan
pesat pada pemerintahan Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu
1. Tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan al-qur’an dengan al-qur’an, al-hadits ,
riwayat sahabat dan tabi’in.
2.
Tafsir bi al-ra’yi yaitu menafsirkan al-qur’an dengan menggunakan akal
pikiran. dan di antara para ahli tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah
adalah a) Ibnu Jarir Ath-Tabari. b) Ibnu Athiyah Al-Andalusi. c) Abu
Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani
Tafsir bi at ma’sur antara lain seperti jami al bayan fi tafsir al-qur’an, oleh
ibn jarir al thabari, mu’alim al tanzil
oleh baghawi dan tafsir al kabir oleh
Al Razi. Sedangkan tafsir bi al ra’yi,
antar lain seperti tafsir Abu Bakar Al Islam dan tafsir Ibn Jarwi Al Asadi
Hadirnya tafsir bi at ra’yi banyak mempengaruhi
pemikiran filsafat yang berkembang pesat pada masa itu: dimaksudkan selain untuk
menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul, juga pertanda bahwa islam
sesungguhnya telah mengembangkan diri.
b. Ilmu Hadits
Pembukuan
hadits secara lebih sempurna, baru mulai dilakukan pada masa ini. Beberapa
karya besar yang terkenal seperti sahih Al Bukhari, Sahih Al Muslim, Sunan Ibn
Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Al-Tirmizi, Sunan Al-Nasai dan Al-Muawatha’ oleh
Imam Malik.[14]
Imam Malik
(713-795 M), terdidik di kota Madinah dalam asrama yang meliputi di antaranya
para sahabat, para thabi’in, para anshar, para cerdik-pandai dan para ahli
hukum agama. Beliau terdidik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak
yang cerdas fikiran, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir dan menerima
pengajaran, setia dan teliti.
Imam Malik
dalam memberikan fatwa tentang urusan hukum-hukum keagamaan, adalah berdasarkan
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Atau hadist-hadist Nabi yang
telah beliau ketahui dan beliau anggap sah (terang). Dalam hal ini beliau
pernah berkata: Hukum itu ada dua macam : 1. Hukum yang telah didatangkan oleh
Allah (Al-Qur’an), dan 2. Hukum yang datang dari Sunnah Rasul-Nya.
Ilmu Hadis,
dalam bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari
catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman ini juga mulai diklasifikasikan
secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara ketat
dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadits Shahih, Dhaif
dan Maudhu. Bahkan kemudian pula kritik sanad dan matan, sehingga terjadi jarah
dan ta’dil rawi hadits.
Diantara
para ahli hadits pada masa Dinasti Abbasiyah adalah
a. Imam Bukhari
(194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari.Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih
Muslim.Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
b. Abu Dawud,
karyanya sunan Abu Dawud.Imam an-Nasai, karyanya Sunan an-Nasai.Imam Baihaqi.
c. Ilmu Qira’at
Lahirnya ilmu ini karena adanya perbedaan lahjat dalam
membaca Al-qur’an antar orang–orang Arab dengan orang Islam yang bukan orang
Arab, perbedaan huruf Al-qur’an pada mashaf Usmani yang tidak bertitik dan
berbaris. Dalam keanekaragaman itulah, tampil harun ibn musa al bashini sebagai
orang pertama yang membahas bacaan dari segi dasar dan sanad yang dianut
masing-masing.[15]
Beberapa tokoh qira’at yang terkenal pada masa itu
antara lain seperti Nafi, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai
Yahya Ibn Al-Haris, Al-Zimani, Hamzah Ibn Habib Dan Lain-Lain.
Pada masa itu pula lahir qiraah baru, yakni tilawah
Al-qur’an. Ada yang berpendapat bahwa qira’ah
ini telah ada pada masa nabi.
Para ulam berbeda pendapat pembacaan Al-qur’an dengan tilawah, antara lain;
Imam Malik melarangnya, sedangkan imam syfe’i membolehkannya.
d. Ilmu Kalam
Ilmu Kalam,
lahirnya ilmu kalam ada dua faktor : Faktor Pertama, untuk membela Islam dengan
bersenjatakan filsafat seperti halnya musuh yang memakai senjata itu. Faktor
Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola
rasa kepada pola akal dan ilmu. Kaum Mu’tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu
kalam, karena mereka adalah pembela gigih tehadap Islam dari serangan, Yahudi,
Nasrani, Wasani.
Munculnya
ilmu kalam ini mempunyai kaitan erat dengan masuknya bangsa –bangsa yang telah
berperadaban ke dalam yang menuntut menjelaskan aqidah islamiah, tidak cukup
dengan dasar-dasar logika dan pemikiran filsafat saja. Selain itu, dimaksudkan
pula untuk mempertahankan islam dari serangan luar dan sekaligus membawa
perubahan besar dalam sejarah pemikiran aqidah Islam.
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah
mengenai dosa pahala, surga neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau
tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi.
Diantara
tokoh ilmu kalam adalah Al-Juba’i, Wasil bin Atha, Abul Huzail al-Allaf (w.849
M), tokoh Mu’tazilah.. Imam Abul Hasan al-Asy’ari tokoh Asy’ariah. dan Imam Abu
Mansur al-Maturidi.
Di Basrah
sebagai kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak lebih
ekstrim sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-zahid yang
terkenal di sini ialah Hasan Al-Basri (w.110 H) dan Rabiah Al-Adawiyah (w.185
H).
Suatu hal
yang perlu dicatat adalah bahwa kaum mutakallimin khususnya mu’tazilah, telah
berhasil mempertahankan islam dari serangan orang-orang masehi, dengan
menggunakan ilmu kalam ini. Turut pula mempengaruhi perkembangan ilmu kalam
karena khalifah al ma’mun yang sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir. Hal
ini lah antara lain mendorong hidup suburnya ilmu kalam dan filsafat didalam
islam.
e. Ilmu Fiqh
Timbulnya
ilmu fiqh sehubungan timbulnya berbagai masalah dikalangan umat islam pada abad
kedua hijriah. Jarak antara lahirnya Islam dengan daulah Abbbasiyah cukup jauh.
Dalam hal semacam ini diperlukan adanya kepastian syra’ sehubungan dengan
masalah-masalah yang timbul dikalangan umat islam tersebut. Maka munculah
beberapa aliran.
Fiqh, yang
pada masa dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri madzhab
antara lain sebagai berikut
-
Imam Abu Hanifah (700-767 M). Menurut riwayat : Bahwa
Imam Hanafy di kala belajar keadan Imam Amir bin Syarahil Asy Syu’by (wafat
pada tahun 104H), guru ini setelah melihat dan memperhatikan keadaan pribadi
beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati supaya rajin belajar ilmu
pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang tertentu (khusus) di
majlis-majlis para ulama, para cendikiawan pada waktu itu.
-
Imam Hanafy tertarik mempelajari ilmu pengetahuan
“Fiqh” atau yang biasa disebut dengan “Ilmu Fiqih” ialah ilmu agama yang di
dalamnya hanya melulu membicarakan atau membahas soal-soal yang bertalian
dengan hukum-hukum, baik yang berkenaan dengan urusan ibadah maupun yang
berkenaan dengan urusan mu’amalah atau yang berhubungan dengan masyarakat.
-
Imam Syafi’i (767-820 M). Tentang kecintaan ilmu
pengetahuan, kecuali telah terbukti. Seperti yang dikatakan oleh al-Imam:
Pengetahuan itu ada dua macam: pertama pengetahuan Fiqih untuk agama, dan kedua
pengetahuan Thibb untuk keperluan tubuh.
-
Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Sejak kecil Imam
Hambaly telah kelihatan sangat cinta kepada ilmu dan amat rajin menuntutnya.
Dari karenanya beliau tidak berhenti dan tidak pula jemu menuntut ilmu
pengetahuan, sampai tidak ada kesempatan untuk memikirkan mata pencariannya.
f. Ilmu Tasawuf
Ilmu
Tasawuf, adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah.
Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
SWT, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta berbunyi diri
beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih dahulu muncul
aliran zuhud. Aliran zuhud ni tumbul pada akhir abad I dan permulaan abad II H
sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar
negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke
Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Orang yang
pertama kali yang memakai ilmu sufi adalah Abu Hasyim Al-kufi (w. 150 H). Imam
Al-Ghazali (w. 502 H) kemudian mengembangkan melalui karya-karyanya, antara
lain Ihya Ulum al-din dan masih banyak lagi tokok-tokoh lainnya. Mereka para
ahli tasawuf ini, mengenyampingkan kehidupan duniawi, hidup dalam kesederhanaan,
karena dengan demikian, mereka akan merasa lebih dekat dengan Tuhan.
g. Ilmu Tarikh
Muhammad Ibn Ishak (w. 152 h) yang mula-mulanya menulis tarikh nabi
Muhammad SWT, kemudian diringkaskan oleh Ibn Hisyam(w. 218 h) dengan bukunya Syarh Ibn Hisyam. Penulis-penulis
tarikh lainnya pada masa ini ialah Ibn Abi Mahruf, Al Waqidi, Ibn Al Kilbi, Ibn
S’ad Ibn Al Hikam, Ibn Qutqidabah Dan Nubkhiti.
Sejarah,
masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh
sejarah lainnya antara lain:
-
Ahmad bin al-Ya’kubi (w.895 M) karyanya adalah
al-Buldan (negeri-negeri), at-Tarikh (sejarah). Ibnu Ishaq.
-
Abdullah bin Muslim al-Qurtubah (w.889 M), penulis
buku al-Imamah wa As-Siyasah, al-Ma’arif, Uyunul Ahbar, dan lain-lain.Ibnu
Hisyam.Ath-Thabari (839 - 923 M), penulis buku Kitab al-Umam wa al-Muluk. Nama
lengkapnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. Lahir di amul, Thabaristan
yang terletak di pantai selatan laut Thabaristan pada 839 M dan meninggal di
Baghdad pada tahun 923 M.
Sejak usia
mudanya sudah berkecimpung dalam kehidupan intelektual. Usia mudanya dihabiskan
untuk mengumpulkan riwayat-riwayat Arab dan Islam, dan setelah itu sebagian
besar waktunya digunakan untuk mengajar dan menulis.
Secara garis
besar, kandungan kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian
sejarah sebelum Islam dan bagian sejarah Islam. Dalam mengumpulkan bahan-bahan
sejarah ini, dia bersandar kepada riwayat-riwayat yang sudah dibukukan dan
belum di bukukan. Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang hampir sezaman dengannya,
ia melakukan pengumpulan riwayat-riwayat yang belum dibukukan dengan banyak
melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu dan belajar kepada
ulama-ulama termasyhur.
Al-Maqrizi.Al-Baladzuri
(w.892 M), penulis buku-buku sejarah.
Selain ilmu tersebut ada juga ilmu
yang berkembang pada masa Abbasiyah yaitu ilmu Sastra. Dalam bidang sastra,
Baghdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra antara
lain.
Abu Nawas, salah seorang penyair terkenal
dengan karya cerita humornya. An-Nasyasi,
penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (The
Arabian Night), adalah buku cerita sastra Seribu Satu Malam yang sangat
terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.
h. Ilmu Nahwu
Ilmu Bahasa, diantara ilmu bahasa yang berkembang pada
masa dinasti Abbasiyah adalah Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Bayan, Ilmu Badi’,
dan Arudh. Bahasa arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping
sebagai alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli ilmu bahasa adalah
a) Imam Sibawaih (w.183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000
halaman. b) Al-Kiasi. c) Abu Zakaria al-Farra (w.208 H). Kitab Nahwunya terdiri
dari 6.000 halaman lebih.
Setelah pemerintahan dipegang oleh daulah Abbasiyah,
perkembangan semakin lebih pesat lagi. Di Basrah dibangun madrasah yang khusus
mendalami ilmu ini. Beberapa tokohnya yang Masyhur Seperti Sibawaihi, Isa Ibn
Umar, Al Saqafi Abu Amr Ibn Al-A’la, dan lain-lain. Sedangkan di kufah,
terkenal pula seperti Al Kasai, Abu Ja’far Al –Ruas dan lain-lain.[16]
2. Bidang Umum (Ilmu Aqli)
a. Ilmu Filsafat
Filsafat,
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa daulah
Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa
Arab, yang diterjemah oleh Hunayan yang menguasai bahasa Yunani dan Suryani.
Dia mula-mula menerjemahkan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Suryani,
kemudian dua orang pembantunya, anaknya sendiri (ishaq), dan keponakannya
(Hubaisy) menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Ketika dia (Hunayn) memimpin lembaga
tersebut, telah banyak buku yang dia terjemahkan, misalnya buku-buku
Hepocrates, Galliens, buku-buku plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat.
Bagaimanapun ada orang yang memberikan komentar bahwa ketika para penguasa
dunia Islam dan para ilmuwannya sibuk menggeluti dunia pemikiran, filsafat, dan
ilmu-ilmu yunani, pada saat yang sama penguasa negara-negara Eropa dan para
tokohnya sibuk belajar menuliskan nama mereka sendiri.
Para filsuf Islam antara lain :Abu Ishaq al-Kindi
(809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.Abu Nasr al-Farabi (961 M). Karyanya
lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-Mualimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua,
sedangkan guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles Ibnu Sina,
terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan
kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna
juga seorang dokter istana kenamaan. Di antara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun Fi Ath-Thib (canon
of medicine). Ibnu Bajah (w.581 H).Ibnu Tufail (w.581 H), penulis buku
novel filsafat Hayy bin Yaqzan.Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat
julukan al-Hujjatul Islam. Karyanya antara lain : Maqasid al-Falasifah, al-Munqid
Minadh Dhalal, Tahafut al-Falasifah, dan Ihya Ulumuddin. Ibnu Rusyd di
Barat dikenal dengan Averros (1126-1198 M). Ibnu Rusyd, seorang filsuf, dokter
dan ulama. Karyanya antara lain : Mabadi
al-Falasifah, Tahafut at-Tahafut al-Falasifah, al-Kuliah fi ath-Thibb, Bidayah
al-Mujtahid.
Folosof filosoof muslim, sebagaiman halnya dengan
filosof ynani bukan hanya mempunyai sifat filosof, tetapi juga sifat ahli ilmu
pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan
filasafat tetapi juga meliputi berbagai
ilmu pengetahuan.[17]
b. Ilmu Falak
Orang
pertama yang menelaah ini adalah muhammad Ibn Ibrahim Al-Farazi. Diawali dengan
lahirnya buku Al Shindu Hindu pada masa khlifah Al-Mansur, kemudian berkembang
pada masa alma’mun dengan dibangunnya teropong bintang dan diterjemahkannya
buku Yunandi Al-magiste, karya Potelemeus oleh Husain Ibn Ishak. Pada masa ini
pula dikemukakan teori tentang terjadinya gerhana, dan tidak tampak matahari
daerah kutub. Teori ini telah disempurnakan dengan alat pengukur dan kecepatan
perjalanan bintang atau antropologi.
c. Ilmu Kedokteran
Ilmu ini mulai dikenal pada masa daulah Abbasiyah dengan hadirnya George
Bakhtisyu keistana, atas permintaannya Al-mansur untuk mengobati dirinya.
George Bakhtisyu menetap di Bagdad dan menyusun ilmu kedokterannya dalam bahsa
arab.kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Ibn Bakhtisyu (811 M) yang mana pada
masa Harun Al Rasyid pernah menjadi kepala rumah sakit di Bagdad dan dijadikan
dokter pribadi Harun Al Rasyid.
Ilmu
Kedokteran pada masa daulah Abbasiyah berkembang pesat. Rumah-rumah sakit besar
dan sekolah kedokteran banyak didirikan. Di antara ahli kedokteran ternama
adalah
-
Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih (w.242 H), seorang ahli
farmasi di rumah sakit Jundhisapur Iran.Abu Bakar ar-Razi (Rhazes) (864-932 M)
dikenal sebagai “Galien Arab”.Ibnu Sina (avicenna), karyanya yang terkenal
adalah al-Qanun fi Ath-Thib tentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta
membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon
of Medicine.Ar-Razi, adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar
dengan measles, ar-Razi adalah penulis buku mengenai kedokteran anak.
-
Farmasi, di antara ahli farmasi pada masa Dinasti
Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah al-Mughni (berisi
tentang obat-obatan), jami al-Mufradat al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan
dan makanan bergizi).
-
Abu Ali Ibn Sina yang membuat julukan prince of
physicians. Karya tulisannya adalah al
qanun fi al thib, merupakan referensi standar kedokteran dinegara-negara
islam dan Eropa dan masa itu dan sesudahnya. Karya tersebut telah diterjemahkan
kedalam berbagai bahasa yang sampai akhir abad pertengahan, merupakan karya
sistematis terkemuka yang mencakup teori dan praktik.
-
Al razi (razes) yang mendapat julukan hipocrates Islam
dengan karyanya masing-masing Al Mansuri Dan Al Hawi. Keduanya diterjemahkan
kedalam bahasa latin, Inggris, dan bahasa Eropa-Eropa lainnya.
-
Ali ibn isa dengan karyanya tadhbir al-kalahin (buku pedoman bagi ahli optalmologi). Beliau
dikenal sebagai orang yang pertama kali yang menyarankan pembiusan atau
anatesia dalam pembedahan.
d. Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu ini telah dipakai secara paraktis, ketika membuat perencanaan
pembangunan kota Baghdad pada masa Al Mansur. Pada masa Al Mahdi, Jabir Ibn
Hayyam (721-815) telah menulis ilmu kimia, pertambangan dan batu-batuan yang
dimanfaatkan oleh Barat dikemudaian hari. Perkembangan selanjutnya dilakukan
oleh Muhammad Ibn-Ibrahim Alfarazi, dengan menerjemahkan buku matematika
Sinhind Dari India.
Matematika,
terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam
bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah
al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi adalah
pengarang kitab al-Jabar wal Muqobalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena
diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, III, IV, V dan
seterusnya. Tokoh lain adalah abu al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin
al-Abbas (940-998 M) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
Ilmu
Astronomi, kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu
astronomi dari berbagai bangsa seperti bangsa Yunani, India, Persia, Kaldan,
dan ilmu falak Jahiliah.
Di antara ahli
astronomi Islam adalah
-
Abu Mansur al-Falaki (w.272 H). Karyanya yang terkenal
adalah Isbat al-Ulum dan Hayat al-Falak.
-
Jabir al-Batani (w.319 H). Al-Batani adalah pencipta
teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab ma’rifat Mathiil Buruj Baina
-
Arbai al-Falak.Raihan al-Biruni (w.440 H). Karyanya
adalah at-Tafhim li Awal as-Sina
at-Tanjim.
Geografi
atau ilmu yang berhubungan dengan alam, dalam bidang geografi umat Islam sangat
maju, karena sejak semula bangsa Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa
menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara wilayah pengembaraan umat Islam
adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa awal
kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
Abul Hasan
al-Mas’udi (w.345 H/956 M), seorang penjajah yang mengadakan perjalanan sampai
Persia, India, Srilanka, Cina dan penulis buku Muruj az-Zahab wa Ma’adin
al-Jawahir.
Muruj
ad-Dzahab diawali paparan mengenai para khalifah. Setelah memaparkan kondisi
geografis masing-masing wilayah Islam dibagian Timur, Barat dan Jazirah Arab
termasuk agama-agama yang berkembang saat itu, ia membahas para penguasa kuno
diwilayah-wilayah tersebut termasuk agama-agama mereka. Al-Mas’udi juga berjasa
mengungkap sejarah tulisan Mesir berikut keunikan-keunikannya. Disusul
tema-tema umum sejarah Islam yang dimulai dari uraian sirah Nabi, Khulafa
Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah hingga tahun 336 H. Pada bagian penutup
buku ini al-Mas’udi menjelaskan penelusurannya terhadap data-data sejarah
setiap periode, berbagai peristiwa masa itu, kondisi alam, para penguasa dan
biografi mereka, serta keadaan masyarakatnya. Ia tidak mengenal lelah dalam
melacak berbagai informasi itu. Ia tidak mengenal lelah dalam melacak berbagai
informasi itu. Ia tidak mengenal pada Madzhab, komunitas politik atau informasi
pihak tertentu dalam penulisan sejarah.
Ibnu
Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi
Islam tertua. Di antara karyanya adalah Masalik
wal al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan
peraturan keuangan.
Ahmad al-Yakubi,
penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran, India,
Mesir, Maghribi, dan penulis buku al-Buldan.Abu
Muhammad al-Hasan al-Hamadani (w.334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu Jazirah Al-Arab.
e. Ilmu Fisika
Ada suatu
hal yang merupakan ciri khas dari karya ahli fisika muslim pada masa itu, yakni
terpadunya kepekaan terhadap azas-azas teori dasar yang mencerminkan kekaguman
dan penghormatan terhadap ciptaan tuhan dengan pendekatan praktis.
Ahli fisika
muslim yang terkenal, antara lain seperti Al-Biruni Dan Ibn Sina yang bekerja
sama dalam menganalisa konsep-konsep fisika pada masa itu, Ibn Al-Haythan yang
mempelopori study tentang gerak dan refraksi atau pembiasan cahaya dan pendekatan terhadap hukumnya, dalam
karyanya al-munzir.
Demikianlah
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa daulah Abbasiyah yang
telah mencapai puncaknnya, namun menurut Badri Yatim, kemajuan yang dicapai
Abbasiyah tidak lepas dari dari usaha Bani Umayyah sebagai perintis kemajuan,
namun uasah tersebut tidak terfokus, karena pada masa ini pusat perhatian
terfokus pada pengembangan wilayah pengembangan islam.[18]
Namun walau
telah mencapai puncak keemasannya pada daulah abbasiyah, namun kemunduran juga
terjadi pada masa khalifah terakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
1.
Wilayah kekuasaan semakin luas
2.
Kemerosotan ekonomi
3.
Konflik keagamaan
4.
Ancaman dari luar seperti peperangan salib dan
serangan mongol
5.
Terjadinya stagnansi dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Selain
perhatiannya yang begitu besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan
upaya Dinasti Abbasiyah (al-Ma’mun) memberikan kebebasan kepada akal, untuk
mendiskusikan hal-hal yang ada kaitannya dengan akidah, al-Ma’mun juga
meninggalkan sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam dan sejarahnya. Pada
masa pemerintahannya digalakkan usaha pembauran antara bangsa Arab dan
bangsa-bangsa lain. Sebuah praktik yang kelak menjadi faktor penyebab
menjamurnya perkawinan antar ras, poligami dan pernikahan terhadap budak
belian. Hasilnya, fanatisme kabilah, yang boleh dikatakan bahaya terbesar bagi
keutuhan negara, telah ditanggulangi sepenuhnya. Padahal waktu itu terjadi
kesenjangan yang cukup hebat antara kaum muslim senior dan orang yang baru
masuk Islam; antara pengikut aristokratisme yang mengandalkan keturunan dan
kelompok baru yang terdiri dari atas pedagang, dokter, analisis, sastrawan,
guru, ilmuwan, dan industriawan. Karena al-Ma’mun dapat mengatasi hal itu
dengan baik, dia dapat dengan leluasa mengatur masyarakat Islam pada masa itu
serta meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial mereka.
Sumber ilmu
pengetahuan menurut para penganut aliran Materialisme adalah terbatas pada
materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal rasionable dan hanya
yang dapat dipahami oleh akal saja, mereka tidak mempercayai sumber ilmu
pengetahuan apapun selain dari dua sumber di atas.
Kita umat
Islam juga mempercayai dua sumber tersebut. Kita menganggap pancaindera dan
akal sebagai instrumen penting ilmu pengetahuan bahkan sebagai kenikmatan
karunia yang besar yang dianugrahkan Allah swt kepada manusia agar dapat
memahami dirinya dan alam sekitarnya. Dengan akal dan panca indera itu juga ia
dapat mengkaji dan mengerti hukum alam dan rahasia yang tersimpan di dalamnya.
Bahkan hukum dan rahasia alam semesta itu sendiri oleh Islam dianggap sebagai
saksi terbenar bukti yang paling akurat yang menunjukkan eksistensi dan
keagungan.[19]
Dengan demikian, apabila Bani Umayyah dengan
Damaskus sebagai ibu kotanya mementingkan kebudayaan Arab, Bani Abbasiyah
dengan memindahkan ibu kota ke Baghdad, telah agak jauh dari pengaruh Arab.
Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.
Disamping
itu dalam perkembangan Islam masa klasik di zaman umayyah lebih kepada ekspansi
daerah kekuasaan Islam sedangkan zaman abbasiyah adalah masa pembentukan dan
perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam dengan munculnya bait al-hikmah
yang didirikan oleh al-Makmun, buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan
dari bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Di antara
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah ialah ilmu
agama meliputi ilmu tafsir, hadis, fiqh dan ilmu umum yang meliputi kedokteran,
matematika, optika, geografia, fisika, astronomi, dan sejarah di samping
filsafat.
Demikianlah
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa daulah Abbasiyah yang
telah mencapai puncaknnya, namun menurut Badri Yatim, kemajuan yang dicapai
Abbasiyah tidak lepas dari dari usaha Bani Umayyah sebagai perintis kemajuan,
namun uasah tersebut tidak terfokus, karena pada masa ini pusat perhatian
terfokus pada pengembangan wilayah pengembangan islam.[20]
Namun walau
telah mencapai puncak keemasannya pada daulah abbasiyah, namun kemunduran juga
terjadi pada masa khalifah terakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
6.
Wilayah kekuasaan semakin luas
7.
Kemerosotan ekonomi
8.
Konflik keagamaan
9.
Ancaman dari luar seperti peperangan salib dan
serangan mongol
10. Terjadinya
stagnansi dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Selain
perhatiannya yang begitu besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan
upaya Dinasti Abbasiyah (al-Ma’mun) memberikan kebebasan kepada akal, untuk
mendiskusikan hal-hal yang ada kaitannya dengan akidah, al-Ma’mun juga meninggalkan
sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam dan sejarahnya. Pada masa
pemerintahannya digalakkan usaha pembauran antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa
lain. Sebuah praktik yang kelak menjadi faktor penyebab menjamurnya perkawinan
antar ras, poligami dan pernikahan terhadap budak belian. Hasilnya, fanatisme
kabilah, yang boleh dikatakan bahaya terbesar bagi keutuhan negara, telah
ditanggulangi sepenuhnya. Padahal waktu itu terjadi kesenjangan yang cukup
hebat antara kaum muslim senior dan orang yang baru masuk Islam; antara
pengikut aristokratisme yang mengandalkan keturunan dan kelompok baru yang
terdiri dari atas pedagang, dokter, analisis, sastrawan, guru, ilmuwan, dan
industriawan. Karena al-Ma’mun dapat mengatasi hal itu dengan baik, dia dapat dengan
leluasa mengatur masyarakat Islam pada masa itu serta meningkatkan ekonomi dan
kehidupan sosial mereka.
Sumber ilmu
pengetahuan menurut para penganut aliran Materialisme adalah terbatas pada
materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal rasionable dan hanya
yang dapat dipahami oleh akal saja, mereka tidak mempercayai sumber ilmu
pengetahuan apapun selain dari dua sumber di atas.
Kita umat
Islam juga mempercayai dua sumber tersebut. Kita menganggap pancaindera dan
akal sebagai instrumen penting ilmu pengetahuan bahkan sebagai kenikmatan
karunia yang besar yang dianugrahkan Allah swt kepada manusia agar dapat
memahami dirinya dan alam sekitarnya. Dengan akal dan panca indera itu juga ia
dapat mengkaji dan mengerti hukum alam dan rahasia yang tersimpan di dalamnya.
Bahkan hukum dan rahasia alam semesta itu sendiri oleh Islam dianggap sebagai
saksi terbenar bukti yang paling akurat yang menunjukkan eksistensi dan
keagungan.[21]
Dengan demikian, apabila Bani Umayyah dengan
Damaskus sebagai ibu kotanya mementingkan kebudayaan Arab, Bani Abbasiyah
dengan memindahkan ibu kota ke Baghdad, telah agak jauh dari pengaruh Arab.
Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.
Disamping
itu dalam perkembangan Islam masa klasik di zaman umayyah lebih kepada ekspansi
daerah kekuasaan Islam sedangkan zaman abbasiyah adalah masa pembentukan dan
perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam dengan munculnya bait al-hikmah
yang didirikan oleh al-Makmun, buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat
didatangkan dari bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Di antara
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah ialah ilmu
agama meliputi ilmu tafsir, hadis, fiqh dan ilmu umum yang meliputi kedokteran,
matematika, optika, geografia, fisika, astronomi, dan sejarah di samping
filsafat.
Kesimpulan
Kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Abbasiyah adalah keturunan dari pada Al-Abbas,
paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas.
Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah
dan penyebab suksesnya yaitu:
1.
Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani
Ummayah pada dekade terakhir pemerintahannya
hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.
2.
Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir
pemerintahan Bani Ummayah, seperti
khalifah Yazid bin al-Walid .
3.
Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang
seperti yang di kerjakan oleh
Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.
4.
Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah
kepada mazhab-mazhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5.
Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir
pemerintahan Bani Ummayah.
6.
Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7.
Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Adapunm lembaga-lembaga pendidikan
pada masa abbasiyah yaitu Kuttab, Mesjid, Pendidikan Rendah Di
Istana (Qurhur), Toko-toko buku (al-hawarit al-waraqin), Perpustakaan(al-maktabah),
Salun kesusasteraan( al-shalunat al-adabiyah), Rumah para ilmuan (bait
al ulama’), Observatorium dan rumah sakit(al-bimaristan), Al-ribath,
Al-zawiyah yanzawi
Adapun ilmu yang tumbuh dan berkembangan pada masa
daulah abbasiyah adalah
1. Bidang agama (ilmu naqli) yaitu ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu qira’at, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu tasawuf, ilmu
tarikh, ilmu nahwu,
2. Bidang umum (ilmu aqli) yaitu ilmu filsafat , ilmu falak, ilmu kedokteran, matematika dan ilmu
pengetahuan alam, ilmu fisika
[2]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Cet. I; Jakarta:
RajaGrafindo, 2009), h.50
[4]
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al Islam,
(Kairo: Al Nahdah Al-Misyriyah, 1976), hlm. 222
[5]Badri
Yatim, (Ed), Ensiklopedi Mini : Sejarah dan
Kbudayaan Islam , Jakarta: Logos,
1996, hlm. 74
[6] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2011, Cet. 1, hlm.
78.
[7] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos, hlm. 49
[9] Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1954), hlm. 89
[10] Ramayulis, Sejarah pendidikan Islam,(Jakarta ; Op dit ),hlm 80.
[12]
Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam, Padang: IAIN,
Press, 1981, Hlm. 58.
[13] Ibid, 85
[14]
Ibid, 86
[15]
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Daulah Al Islami, Kairo :
Maktabah Al Misyiriyah, 1978, hlm. 324
[16]Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), hlm. 242.
[18] Ramayulis, hlm. 93.
18Yusuf
Al-Qardhawy, Iptek As-Sunnah Sebagai
Sumber Dan Peradaban, (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
1998), hlm.. 97.
[20] Ramayulis, hlm. 93.